Boemi Putra Sumut Akan Gelar Kongres

/ Kamis, 06 September 2018 / 20.09.00 WIB

POSKOTASUMATERA.COM-MEDAN-
Secara historis, merujuk pasal 163 IS (Indische Staatregeling) penduduk Indonesia zaman Hindia Belanda diklasifikasikan menjadi tiga stratifikasi yaitu Eropa, Timur Asing (terutama Tionghoa dan Arab) dan Pribumi/Inlander.

“Stratifikasi ini menunjukkan perbedaan status sosial, politik, hukum dan ekonomi penduduk Hindia Belanda. Akibat adanya stratifikasi ini, kesenjangan semakin tajam dan ketidakadilan semakin dirasakan oleh pribumi/Inlander, sehingga memunculkan perlawanan yang dimulai sejak periode kerajaan nusantara yang bersifat primordial, hingga munculnya kesadaran kemerdekaan dengan ditandai munculnya berbagai gerakan politik boemipoetra”.

Hal itu diungkapkan Dr Masri Sitanggang, inisiator dan Ketua Panitia Kongres Boemipoetra Nusantara Sumatera Utara, didamping sekretaris panitia Chairul Munadi SH, kepada wartawan, Kamis (6/9) di Medan, usai menggelar rapat persiapan Kongres Boemiputra yang akan digelar pada Selasa, 11 September 2018 mendatang,  di Garuda Plaza Hotel, Jalan Sisingamangaraja Medan.

Dijelaskan Masri, gerakan politik Boemipoetra itu antara lain seperti Sarekat Islam pada tahun 1905 yang dipelopori H. Samanhudi dan Haji Umar Said Cokroaminoto, Budi Utomo 1908 yang dipelopori dr. Wahidin Sudirohusodo dan dr. Sutomo, Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Perguruan Taman Siswa 1922 yang dipelopori oleh KH Dewantara, hingga Perkumpulan Pemuda Indonesia yang selanjutnya melahirkan Putusan Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia pada Kongres Pemuda II 1928, yang kemudian menjadi momentum cikal bakal lahirnya kesadaran berbangsa.

“Perjuangan boemipoetra tidak hanya sebatas merebut kemerdekaan dari penjajah, melainkan juga mempertahankan kemerdekaan untuk membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat. Untuk itu, berbagai macam perlawanan tidak henti-hentinya dilakukan tanpa mengenal rasa lelah pasca deklarasi kemerdekaan Indonesia,” ujar Masri.

Masri lebih lanjut menjelaskan, kehidupan berbangsa dan bernegara selama 73 tahun ini, mengalami pasang surut. Kepemimpinan politik silih berganti namun kondisi rakyat Indonesia tidak berubah. Khususnya boemipoetra, tetap mengalami berbagai persoalan di berbagai bidang kehidupan, baik sosial, politik dan ekonomi. Apalagi pasca istilah “pribumi” dan “non pribumi” dihentikan penggunaannya melalui INPRES No 26 Tahun 1998.

Padahal, ujarnya, PBB telah mengakui dan melindungi kedudukan pribumi sebagaimana yang termaktub dalam Resolusi PBB 21/195 Tentang Hak-Hak Masyarakat Pribumi sebagai bagian dari Deklarasi Hak Asasi Manusia.
Kondisi ini semakin diperparah dengan amandemen UUD 1945 pasal 6 ayat 1 “Presiden ialah orang Indonesia asli” diganti menjadi “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya” dan amandemen Pasal 26 ayat 1 “yang menjadi Warga Negara Indonesia ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”, diganti melalui amandemen ke 2 menjadi “penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia”.

Amandemen ini membawa konsekuensi politik yang berdampak pada kehidupan bangsa Indonesia khususnya posisi boemipoetra yang saat ini selain tidak berdaulat secara ekonomi, juga tidak berdaulat secara politik. Dan apabila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, kata Masri, akan memunculkan potensi disintegrasi bangsa, merebaknya konflik sosial di masyarakat yang mengancam kedaulatan dan kesatuan NKRI.

Atas latarberlakang itulah, sebut Masri, sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam kepanitiaan Kongres Boemiputra Nusantara, berinisiatif menggelar Kongres Boemiputra pada Selasa, 11 September mendatang.

Bahasan Kongres Boemipoetra Nusantara Sumut ini, katanya, menggunakan paradigma Asta Gatra Nasional yang meliputi, pertama IPOLEKSOSBUDHANKAM (panca gatra nasional) kedua, Tri Gatra Nasional terdiri atas aspek lokasi dan posisi geografis wilayah Indonesia (aspek geografi), aspek   kekayaan   dan   sumber   daya   alam (SDA) dan aspek kependudukan (Demografi) atau yang disebut dengan gatra alamiah. Paradigma Asta Gatra Nasional digunakan pada Pra Kongres Boemipoetra Nusantara Indonesia dalam rangka upaya Bela Negara secara komprehensif.

Kongres BoemiPutra akan dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional seperti Mantan Panglima. Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso, Prof Dr. Maswadi Rauf, MA. Prof. Dr. Sobar Sutisna, Marzuki Alie, SE, MM, Ph.D., Prof. Yusril Ihza Mahendra, Letjen TNI (Purn). Prof. Dr. Syarifudin Tippe, Dr. M. Dahrin La Ode, M.Si, Dr. Ichsanuddin Noorsy BSc, SH, M.Si, Prof. Dr. Suteki , SH,M.Hum.

Sedangkan pembicara lokal yakni Dr Shohibul Anshor Siregar, Prof Dr. H. Hasim Purba, SH,M.Hum dan Dr Ir Masri Sitanggang MP. sementara itu, peserta Kongres adalah perwakilan dari Kesultanan dan tokoh adat, perwakilan ormas, perguruan tinggi, tokoh masyarakat dan agama di Sumatera Utara sekitar 300 orang. (PS/HASAN)


Komentar Anda

Terkini: