POSKOTASUMATERA.COM-CILANDAK–Diskusi Rumah Kebudayaan
Nusantara (RKN) bongkar kebobrokan komplotan NB sebanyak 75 karyawan dan
penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK-RI) yang tidak
lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), 18 Maret – 9 April 2021.
Diskusi dipandu Petrus Selestinus dari
Tim Koordinasi Pembela Demokrasi Indonesia, menghadirkan Hendardi, mantan Tim
Panitia Seleksi Komisioner KPK-RI tahun 2019, dan Chairul Iman, mantan penyidik
Kejaksaan Agung Republik Indonesia di Cilandak, Jakarta, Senin, 24 Mei 2021.
Hadir pula narasumber yang tidak
bersedia disebutkan namanya, secara khusus menceritakan arogansi dan kebobrokan
komplotan NB, setiap kali memeriksa para saksi dan tersangka.
Sumber yang
cukup disebut, Wan Usman, mengatakan, NB bersama penyidik lainnya yang berasal
dari Polisi Republik Indonesia, dan memutuskan berhenti menjadi anggota Polisi,
ketika akan ditarik penugasannya dari KPK-RI, membuat buruk citra lembaga anti
rasuah.
Wan Usman,
mengaku dicari-cari kesalahannya ketika menjadi saksi dalam kasus Mindo Rosa
Manulang, Nazarudin, Angelina Sondakh, dan Menteri Pemuda dan Olah Raga, Andi
Alfian Malarangeng, dalam hubungannya kontroversi pembangunan Wisma Atlet
Hambalang, Bogor tahun 2011.
NB, itu bisa
seenaknya masuk ke ruangan pemeriksaan, dan mengatur konseksitas materi
pemberiksaan antar tersangka dan saksi di ruangan berbeda, dan tiba-tiba materi
berita acara pemeriksaan bocor di media massa dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia.
NB, selalu
mengambil alih koordinator pemeriksaan terhadap tokoh tertentu untuk dijadikan
tersangka, dan melindungi pihak pihak lain, agar lolos dari jeratan hukum.
Seseorang dijadikan tersangka, selalu sesuai order.
Menurut Wan
Usman, nama salah satu anak mantan pemimpin di Indonesia merupakan figure yang
mati-matian dibela dan dilindungi komplotan NB, ketika kasus wisma altet
Hambalang, mencuat ke permukaan.
Kuatnya pengaruh komplotan NB, membuat komisioner KPK-RI, menjadi tidak berkutik. Mereka selalu memanfaatkan fungsi penyadapan yang sebelumnya tidak mesti izin, untuk menjadikan seseorang sebagai target tersangka. “Saya memang tidak sampai jadi tersangka. Tapi pemeriksaan mengabaikan hak azasi manusia seseorang tersangka atau saksi, dengan menteror secara phikis, diperiksa di ruang sempat, dikeliling lampu sorot yang bertujuan membuat mental seseorang menjadi jatuh. Aksi penekanan psikologis terhadap tersangka dan saksi selalu dilakukan di lantai 8 gedung KPK-RI,” kata Wan Usman.
Wan Usman
mengatakan, banyak kepentingan di balik ingin tetap bertahannya 75 karyawan dan
penyidik KPK-RI yang tidak lulus TWK pada 18 Maret – 9 April 2021.
Pihak yang
punya kepentingan mempertahankan komplotan NB di KPK-RI mampu mempengaruhi
opini publik di media, dengan kekuatan uang.
Banyaknya
kecurigaan masyarakat terhadap Operasi Tangkap Tangan (OTT) rekayasa selama ini
di KPK-RI, memang selalu berputar di antara 75 karyawan dan penyidik yang tidak
lulus TWK, dimana termasuk NB di dalamnya.
“Kalau
komplotan Navel Baswedan tetap dibiarkan bercokol, reputasi KPK-RI akan semakin
terpuruk, karena selalu dimanfaatkan kelompok tertentu. Aneh, ya, karena sesuai
ketentuan materi berita acara pemeriksaan yang masuk ketegodri sangar rahasia,
bisa bocor di media tertentu. Ini ulah komplotan NB,” ujar Wan Usman.
Petrus
Selestinus, Hendardi dan Chairul Iman, mengatakan, segenap lapisan masyarakat
mesti mendukung keputusan Ketua KPK-RI, Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri
dan 4 komisioner lainnya yang telah membebas-tugaskan 75 karyawan dan penyidik
KPK-RI yang tidak lulus TWK, sambil menunggu keputusan lebih lanjut.
Menurut Petrus
Selestinus, kalau sampai 75 karyawan dan penyidik yang tidak lulus TWK
dipekerjakan kembali, berarti komisioner KPK-RI, melanggar Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2019, tentang: KPK-RI dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, tentang:
Aparatur Sipil Negara (ASN).
TWK dilakukan
Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia, Badan Intelijen Nasional, Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Analisa dan Intelijen Strategis
Tentara Nasional Indonesia, Dinas Intelijen dan Dinas Psikologi Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat.
“Tidak benar
75 karyawan dan penyidik tidak lulus TWK sebagai bagian dari upaya pelemahan
KPK-RI. Karena ada 1.351 karyawan dan penyidik di KPK-RI, dan tidak lulus TWK
sebanyak 75 orang yang berarti hanya sekitar 6 persen. Sama sekali tidak ada
pengaruhnya terhadap kinerja KPK-RI, jika komplotan NB dibuang,” kata Petrus
Selestinus.
Chairul Iman,
mengatakan, KPK-RI sekarang, memang sudah melenceng dari awal pendiriannya
setelah berjalan selama 17 tahun, yaitu sebagai lembaga ad hoc untuk memperkuat
peran Polisi dan Jaksa, dengan mengedepankan fungsi pencegahan.
“Dalam
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tujuan keberadaan KPK-RI adalah pencegahan,
dan penindakan mengedepankan fungsi Polisi dan Jaksa. Sekarang, tugas KPK-RI di
bidang pencegahan, merekomendasikan pembatalan produk perundang-undangan yang
membuka peluang korupsi, kolusi dan nepotisme, sama sekali tidak dilakukan,”
ujar Chairul Iman.
Diungkapkan
Chairul Iman, dari aspek penindakan prestasi KPK-RI mengecewakan. Pada tahun
2019, kasus korupsi ditangani kejaksaan 109 kasus, polisi 100 kasus dan KPK-RI
hanya 62 kasus. Tahun 2020, jaksa menangani 259 kasus, polisi 170 kasus dan
KPK-RI hanya 15 kasus.
“Tidak ada
yang bisa diharapkan dari fungsi KPK-RI dalam kondisi sekarang. Tentang dugaan
pelanggaran hak azasi manusia dalam melakukan pemeriksaan tersangka dan saksi,
harus diusut tuntas. Jika memang benar, ini pelanggaran,” kata Chairul Iman.
Hendardi
mengatakan, KPK-RI sama sekali tidak dilibatkan di dalam menyelenggarakan TWK.
KPK-RI hanya menerima hasilnya pada 17 April 2021, tapi kemudian bocor ke luar,
sehingga harus diselusuri.
Diungkapkan
Hendardi, TWK menjadi sangat penting untuk menentukan apakah seseorang layak
menjadi ASN sebagaimana digariskan di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tentang:
KPK-RI, di tengah-tengah upaya Pemerintah membersihkan paham intoleran,
radikal, ekstrimisme dan terorisme.
Materi TWK,
tidak sulit, karena yang ditanya adalah tentang ideology Pancasila,
berlandaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Undang-Undang Dasar
1945 dan Bhineka Tunggal Ika.
“Kalau tidak
lulus TWK, berarti tidak bisa menjadi ASN. Aturannya sudah jelas. Kesetiaan
terhadap ideology Pancasila, persyaratan mutlak bagi seorang calon ASN,” kata
Hendardi.
Kepada
Bergelora.com dilaporkan, dijelaskan Hendardi, kelompok NB, memang sejak awal
selalu melakukan manuver, ketika muncul upaya membersihkan lingkungan internal
dari indikasi ketidakberesan di KPK-RI.
Di antaranya,
mempersoalkan Presiden Joko Widodo, memerintahkan Badan Nasional Penanggulangan
Teroris, Badan Intelijen Negara, Badan Analisa Intelijen Strategis Tentara
Nasional Indonesia, terlibat di dalam meneliti calon komisioner sebelum namanya
diserahkan kepada DPR-RI.
“Sasaran serangan mereka fokus kepada satu orang yaitu Firli Bahuri dari unsur Polri. Padahal semua keputusan di lingkungan KPK-RI, ditempuh melalui diskusi bersama,” kata Hendardi.(Telah dilansir dan dikutip bergelora.com, PS/NET)