Soal Ganti Cat Pesawat Kepresidenan, Heroik Tapi Tak Sensitive Dampak Covid 19

/ Jumat, 06 Agustus 2021 / 03.16.00 WIB

 


POSKOTASUMATERA.COM-MEDAN-Istilah ‘Post Colour Syndrome’ itu tidak tepat sama sekali ketika rezim ini bermain warna pesawat meniru rezim yang justru dicacinya. Mengganti warna pesawat inventaris pemerintah itu dari warna biru atau warna apa pun itu sebelumnya, menjadi merah putih, memang bagi orang awam bisa terkesan heroik. 

“Bayangkan, pada momentum bulan kemerdekaan (Agustus) warna pesawat diganti menjadi merah putih, menyimbolkan Bendera Kebangsaan Indonesia. Amat heroik, tetapi hanya bagi orang yang awam yang kerap dikelabui dengan politik simbol,” kata Dosen Sosiologi Politik Fisip UMSU Drs. Shohibul Anshor Siregar, M.Si menanggapi riuh biaya cat pesawat Kepresidenan RI..

Namun pengamat politik dikenal vokal ini menganjurkan, di tengah pandemi Covid 19 ini, sensitivitas harus diperkuat, karena pandemi ini semakin menohok kehidupan rakyat kecil dan tak seorang pun tahu kapan akan berakhir. "Sensitivitas di tengah dampak pandemi dinilai kurang karena mengalokasikan anggaran ke pos lain yang dinilai semacam simbol-simbol saja," katanya.

“Bayangkan, defisit APBN 2021 diperkirakan  5,70 persen dari PDB. Tingkat pertumbuhan diramalkan bahkan negatif (-1,7 s.d. -0,6). Tingkat Pengangguran pasti akan terus naik meski pemerintah mematok angka  7,7 – 9,1 %. Gini Ratio 0,377 – 0,379. Kemiskinan 9,2 – 9,7 %. Indeks Pembangunan Manusia 72,78 – 72,95. Nilai Tukar Petani dan Nelayan pada angka 102-104,” paparnya. 

Dia justru mengusulkan tindakan radikal penghematan. Pertama, likwidasi beberapa kementerian yang kurang efisien aapalagi sangat terasa artifisial dan overlapping tupoksi. 

“Misalnya, dengan membubarkan seluruh Menteri Koordinator maka pekerjaan menyelamatkan bangsa pasti lebih dekat dengan sasaran karena Presiden memiliki peluang mengekespresikan kemahirannya memimpin untuk membawa bangsa ini dari krisis. Sangat besar anggaran yang dapat dihemat dengan pembubaran itu,” kata Shohibul Anshor Siregar. 

Dia menjabarkan, Mensesneg, Mensekkab dan  KSP itu susah membayangkan rumusan tupoksinya dengan jelas dilihat dari kepentingan efektivitas pemerintahan. Beberapa kementerian yang wajib melongo menonton pandemi saat ini seperti Kementerian Pariwisata, bisa dibubarkan dan pekerjaannya sebagian dilimpahkan ke Kementerian-kementerian yang relevan.

“Tentu saja dalam kerangka penghematan utang dihentikan dan jika dapat ditelaah dulu semua utang itu manakala sebagian ada yang dapat dikategorikan sebagai ‘utang najis’ untuk dihapuskan,” tegasnya. 

Dia menyarankan, Presiden pun perlu memberi kelegaan kepada rakyat dengan mengumumkan bahwa angan-angan membangun ibukota baru sudah dihentikan karena tidak ada nlai legacy dari proyek seperti itu. 

“Sembari menghentikan proyek-proyek padat modal yang selama ini menjadi saluran menyusupkan tenaga kerja asing, sudah saatnya dihentikan. Semua infrastruktur sangat perlu, tetapi bangsa dengan tingkat keparahan kemiskinan tertentu tidaklah sembarangan berkata bahwa ia butuh infrastruktur ini dan itu yang tidak memiliki relevansi atas poptensi drive untuk keluar dari krisis,” katanya. 

Dirincinya, sebaliknya sesuai narasi UUD 1945 tentang pekerjaan, pasal 27 ayat (2), terlebih jika dihubungkan dengan narasi Pembukaan UUD 1945 (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa), pemerintah saatnya memberi pekerjaan kepada para penganggur. UU Ciptakerja tidak menjawab apa pun hingga kini. 

“Putuskan alokasi APBN melalui sebuah perppu untuk pengadaan lapangan pekerjaan dengan upah Rp 2 juta per bulan untuk setiap pengangguran (katakanlah saat ini berjumlah 10 juta jiwa,red). Dana yang diperlukan Rp 240,000,000,000,000 (dua ratus empat puluh triliun rupiah) per tahun,” rincinya.

Dia mengilustrasikan, apa yang akan dikerjakan oleh pengangguran yang direkrut untuk bekerja pada sektor pemerintah itu? Banyak pilihan, seperti proyek infrastruktur, pertanian, perikanan dan lain-lain yang berorientasi menghasilkan produk untuk konsumsi dalam negeri. 

Dicontohkannya, di Sumatera Utara luas sekali tanah berstatus tidur yang selama beberapa lama terkatung-katung dan bahkan diselewengkan oleh para bandit tanah karena bebalnya pemerintah pusat. “Disebut bebal karena memang telah dengan secara politik dan birokratis membiarkan otoritasnya terimplementasi begitu buruk sehingga melegitimasi distribusi tanah itu dengan sangat tidak wajar,” katanya.  

Semestinya sertifikat tanah untuk jenis seperti inilah yang dibagikan Presiden Joko Widodo untuk mengukir salah satu bentuk populismenya yang menjadi begitu efektif selama ini. “Secara filosofis ini dapat menjadi legacy  amat penting untuk kebangunan bangsa dan sejarah pemerintahan akan dikenang sepanjang masa. Hitung juga bahwa jika intervensi adil pemerintah pusat akan serta merta menghentikan darah yang mengucur selama ini dari konflik horizontal berkepanjangan,” paparnya lagi. 

Karena itu, lanjutnya, selain alokasi upah sebesar Rp 240 triliun pertahun, pemerintah harus mentransfer dana ke semua daerah. Simulasinya begini. Alokasi untuk 514 Kabupaten dan Kota, misalnya, masing-masing Rp 5 triliun (total Rp 2.570 triliun). Untuk 34 Provinsi masing-masing Rp 5 triliun (Rp 170 triliun). Keseluruhan menjadi Rp 5.440 triliun (Rp 5.270 triliun + Rp 170 triliun). Dengan demikian total yang diperlukan ialah Rp 240 triliun + Rp 5.440 triliun sama dengan Rp 5.680 triliun.

“Dari mana uangnya? Itu yang seharusnya dipikirkan oleh pemerintah saat ini. Karena itu perombakan mindset pemerintah harus dilakukan secara radikal. Berpalinglah ke konstitusi. Jangan pula suka mempertengkarkan sesuatu yang sekadar apologi untuk rezim berkuasa. Rakyat sangat muak,” pungkasnya. (PS/REL)

Komentar Anda

Terkini: