Dari Kangkangi Putusan Mahkamah Agung - Dugaan Maal Administrasi - DPA OPD Jadi Temuan, Akademisi : "Penyalahgunaan Kewenangan"

/ Rabu, 21 Desember 2022 / 19.16.00 WIB
Ilustrasi (int)

POSKOTASUMATERA.COM - LABUHANBATU - Menjadi suatu kejadian langka dalam proses sistem penyelenggaraan pemerintah daerah, adanya dugaan kuat jabatan Sekretaris Daerah Kabupaten Labuhanbatu tidak memiliki surat keputusan (SK) jabatan.

Hal dugaan kuat tidak adanya SK jabatan Sekda, ditemukan dari ketidakpatuhan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu melaksanakan amar putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 75/TUN/2019 terkait sengketa tata usaha negara (TUN) atas putusan Bupati Labuhanbatu tanggal 25 Agustus 2017 yang lalu tentang penerbitan SK baru dan pelantikan terhadap Muhammad Yusuf Siagian. 

Tak dijalankan amar putusan Mahkamah Agung RI tersebut, diakui oleh Kepala Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Labuhanbatu Drs.Zainuddin Siregar ketika ditemui diruang kerjanya belum lama ini.

Zainuddin pun mengatakan, bahwa putusan Mahkamah Agung RI membatalkan putusan Bupati Lanuhanbatu Nomor : 824/3169/BKPP-1/2017 tentang penempatan pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu atas nama Ir. Muhammad Yusuf Siagian M.MA NIP 196504171991031004 tertanggal 25 Agustus 2017. SK jabatan Muhammad Yusuf Siagian menjadi Sekdakab yang lama masa mantan Bupati Labuhanbatu H. Pangonal Harahap berlaku. 

Pada hakikatnya, Zainuddin akui, tidak ada dikeluarkan SK baru dan pelantikan terhadap Muhammad Yusuf Siagian. Yang akhirnya, Muhammad Yusuf Siagian tidak memiliki SK jabatan SekdaKab Labuhanbatu saat menjabat pada tahun 2020 menggantikan Ahmad Muflih hingga saat ini.

Berbagai pendapat mengemukakan tentang pelanggaran terhadap Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu. Terkhusus Bupati Labuhanbatu yang ketika dikonfirmasi masalah tersebut, hanya memilih diam seribu bahasa. 

Hal pertama dikemukakan oleh praktisi hukum Sumatera Utara Ajie Lingga SH. Ketiadaan SK jabatan Sekretaris daerah, berbagai tugas, pokok dan fungsi, seperti pengkoordinasian perumusan kebijakan pemerintah daerah, penyelenggaraan administrasi pemerintahan, pengelola sumber daya aparatur, keuangan, sarana dan prasarana tidak sah. Ajie Lingga juga mengatakan, amar putusan Mahkamah Agung RI memiliki ketetapan hukum tertinggi yang sah.

Pendapat lain, Ketua DPP Lembaga Peduli dan Pemantau Pembangunan (LPPP)  Irfandi. Dia mengatakan, Muhammad Yusuf Siagian menjabat Sekdakab Labuhanbatu tidak memiliki SK jabatan, maka fungsi dan seluruh tugas ke absahan sebagai Sekda tidak dapat dijalankan. 

Salah satunya tertuang pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah. Fungsi dan tugas sebagai Sekretaris Daerah jelas tertuang pada huruf B, sebagai Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah. Lebih jelasnya, dalam hal penyelenggaraan keuangan daerah, Sekda mengesahkan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) yang merupakan memuat pendapatan dan belanja setiap OPD (organisasi perangkat daerah) yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan oleh pengguna/pengelola anggaran.

"Jika Pak Yusuf Siagian tidak ada legalitasnya menjabat sebagai sekda, maka seluruh DPA OPD/SKPD menjadi temuan kerugian negara/daerah. Tidak hanya itu, sistem administrasian pun menjadi Mal Administratif,"jelasnya.

Muhammad Yusuf Siagian SH yang menjabat Sekdakab Labuhanbatu yang diduga kuat tidak memiliki SK terbaru dan pelantikan pasca amar putusan Mahkamah Agung RI, ketika dikonfirmasi Poskotasumatera.com tidak menjawab, alias memilih diam. 

Sama halnya, Bupati Labuhanbatu dr. H. Erik Adtrada Ritonga, ketika dikonfirmasi tidak menjawab. 

Terpisah, Seorang Akademisi yang menjabat sebagai Kepala Biro AUAK di salah satu Universitas Negeri di kota Pontianak, Khairunas SH, MH dalam tulisannya mengemukakan Asas - Asas Umum penyelenggaraan negara dalam pasal 3 Undang - Undang Nomor 28.Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. 

Asas - asas tersebut meliputi, asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas.

Khairunas juga mengemukakan tentang penyalahgunaan kewenangan. Hal tersebut dikemukakan karena, sangat erat kaitannya dengan terdapatnya ketidaksahan (cacat hukum) dari suatu keputusan dan atau tindakan pemerintah/penyelenggara. Cacat hukum keputusan atau tindakan pemerintah pada umumnya menyangkut pada tiga unsur utama. Yaitu, unsur kewenangan, unsur prosedur dan unsur substansi.

Dengan demikian, cacat hukum tindakan penyelenggara dapat diklasifikasikan dalam tiga macam. Yakni, cacat wewenang, cacat prosedur dan cacat substansi. Ketiga hal tersebut menjadi hakekat timbulnya penyalahgunaan kewenangan.

Dasar pengujian ada atau tidaknya penyalahgunaan kewenangan ini, adalah peraturan dasar (legalitas) sebagai hukum positif tertulis yang melatar belakangi ada atau tidaknya kewenangan saat mengeluarkan suatu keputusan. Artinya, ukuran atau kriteria ada atau tidaknya unsur "menyalahgunakan kewenangan" haruslah berpijak pada peraturan dasar mengenai tugas, kedudukan, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja. 

Terkait tindak pidana penyalahgunaan wewenang jabatan ini, dimuat dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001, “Bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00.". (PS/RICKY)
Komentar Anda

Terkini: