POSKOTASUMATERA.COM-HUMBAHAS,- Kasus eksploitasi dan perdagangan anak di bawah umur kembali mengguncang Sumatera Utara. Kepolisian Resor Humbang Hasundutan (Polres Humbahas) berhasil mengungkap praktik perdagangan manusia yang melibatkan seorang anak perempuan (16 th) asal Kabupaten Simalungun.
Kasus ini berawal dari laporan seorang ayah, S (51), warga di Kabupaten Simalungun, yang kehilangan anak perempuannya berinisial SN (16) pada awal Oktober 2025. Setelah dilakukan penyelidikan, korban ditemukan di Kafe Galaxy, kawasan Dolok Sanggul, Kabupaten Humbahas.
Korban direkrut dengan modus tawaran kerja melalui media sosial sebagai pelayan kafe. Namun, sesampainya di lokasi, korban justru dipaksa melayani tamu dewasa yang mengonsumsi minuman beralkohol, bahkan diduga mengalami eksploitasi seksual.
Sat Reskrim Polres Humbahas berhasil mengamankan dua tersangka, yakni DS (25) sebagai perekrut korban, dan IEP (48) selaku pemilik kafe tempat korban dieksploitasi.
Kapolres Humbahas AKBP Arthur Sameaputty, S.I.K. menegaskan bahwa pihaknya akan menindak tegas setiap pelaku kekerasan dan eksploitasi terhadap anak. “Tidak ada toleransi bagi pelaku yang memperdagangkan atau mengeksploitasi anak. Kami akan proses hukum seberat-beratnya,” tegas AKBP Arthur.
Kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) serta Pasal 76I dan 76J ayat (2) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Korban kini telah mendapatkan pendampingan penuh dari Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) Kabupaten Simalungun, bekerja sama dengan Unit PPA Sat Reskrim Polres Humbahas.
Kabid Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak DPMDP2A, Henny Silaban, S.Sos., M.AP, Rabu, (28/10), saat dikonfirmasi media diruang kerja menyampaikan , saya memastikan proses hukum dan pemulihan korban berjalan maksimal.
“Kami pastikan korban dalam kondisi sehat dan mendapat perlindungan menyeluruh. Tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak,”Pendampingan dilakukan sejak 9 Oktober 2025, mencakup pemeriksaan medis, psikologis, serta pemulihan sosial, tegasnya.
Kasus ini menunjukkan bahwa modus eksploitasi anak kini banyak terjadi lewat tawaran kerja online, memanfaatkan lemahnya pengawasan keluarga dan masyarakat. Karena itu, pemerintah daerah menilai penting untuk menghidupkan kembali gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) sebagai garda terdepan pencegahan.
Program PATBM, yang pernah aktif di 143 desa pada tahun 2022, merupakan gerakan sosial oleh, dari, dan untuk masyarakat dalam mencegah serta menangani kekerasan terhadap anak di tingkat desa dan kelurahan. Namun, dalam dua tahun terakhir, aktivitasnya mulai vakum akibat kurangnya pendampingan lintas sektor.
Charles Sihombing dari media Sangkakala-7 mengingatkan agar pemerintah desa tidak hanya fokus pada penegakan hukum, tetapi juga mengaktifkan kembali sistem sosial masyarakat.
“Jangan hanya Paralegal hukum yang berjalan, sementara PATBM dibiarkan mati suri. Setiap desa harus punya penggerak yang menjadi mata dan telinga pertama dalam mendeteksi kekerasan terhadap anak,” ujarnya.
Polres Humbahas, DP3A, dan UPT PPA mengimbau seluruh masyarakat agar lebih waspada terhadap tawaran kerja mencurigakan di media sosial.
Setiap warga diharapkan tidak ragu melapor apabila mengetahui adanya indikasi eksploitasi anak, terutama di tempat hiburan atau lokasi kerja tidak resmi. “Perlindungan anak bukan hanya tugas aparat atau pemerintah, tapi tanggung jawab moral seluruh masyarakat. Menjaga anak berarti menjaga masa depan bangsa,” tutup AKBP Arthur.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa perlindungan anak tidak cukup hanya dengan hukum, tetapi juga membutuhkan partisipasi sosial yang aktif melalui PATBM. Dengan kolaborasi antara Polres Humbahas, DPMDP2A, UPT PPA, dan masyarakat desa, diharapkan terwujud benteng pertama melawan perdagangan anak di era digital. (PS/BN)
