Dr (c) Laksamana Muflih Iskandar Hasibuan, Lc, M.Ag, MA
Aceh sejak berabad-abad silam dikenal sebagai Bumi Serambi Mekkah—sebuah tanah yang menjadi simpul antara ilmu, iman, dan perjuangan. Dari pantai barat Sumatra ini, Islam menebar sinar peradaban yang berpadu antara syariat dan kearifan lokal. Di antara jejak emasnya, tersimpan naskah-naskah kuno di dayah-dayah dan meunasah tua—lembar-lembar yang tak hanya berisi teks keagamaan, tetapi juga pesan-pesan damai yang mendalam dari para ulama besar: Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniry, dan Abdurrauf al-Singkili.
Sebagai peneliti saya telah menelusuri manuskrip Islam klasik di dunia Melayu, saya menemukan bahwa naskah-naskah Aceh menyimpan formulasi perdamaian yang unik. Ia tidak sekadar berbentuk ajakan moral, tetapi sebuah pandangan dunia (weltanschauung) yang berakar pada tasawuf, tafsir, dan fiqh sosial.
*Hamzah Fansuri: Perdamaian dalam Kesatuan Wujud*
Dalam karya-karyanya seperti Syair Perahu dan Asrar al-‘Arifin, Hamzah Fansuri menulis tentang hakikat insan yang sejatinya bersumber dari Yang Esa. Dalam tafsir sufistiknya terhadap alam dan manusia, ia menegaskan bahwa segala perselisihan hanyalah kabut yang menutupi pandangan terhadap hakikat kesatuan wujud. Bagi Hamzah, mengenali diri berarti mengenali Tuhan, dan dari situ tumbuh kesadaran bahwa memusuhi sesama berarti memusuhi ciptaan Allah sendiri.
Pandangan ini melahirkan etika damai spiritual: perdamaian dimulai dari pengenalan batin. Seseorang tidak akan mampu berdamai dengan masyarakat jika jiwanya sendiri berperang dengan egonya.
*Nuruddin ar-Raniry: Menegakkan Damai Lewat Syariat dan Ilmu*
Berbeda dari Hamzah, Nuruddin ar-Raniry hadir sebagai figur rasional yang menegakkan tatanan syariat. Dalam Bustan al-Salatin, ia menulis tentang pentingnya ‘adl (keadilan) dan sulh (perdamaian) dalam pemerintahan. Bagi Ar-Raniry, damai bukanlah ketiadaan konflik, melainkan keberlangsungan keadilan dan keseimbangan hukum.
Ia mengingatkan sultan dan rakyat bahwa ilmu adalah fondasi damai. Tanpa ilmu, syariat menjadi kaku; tanpa adab, ilmu menjadi senjata yang menyakiti. Maka, perdamaian sosial harus dijaga melalui pendidikan, dialog, dan penerapan hukum yang rahmatan lil ‘alamin.
*Abdurrauf al-Singkili: Perdamaian Sebagai Amal Jama’i*
Ulama besar ini, dalam tafsir monumental Tarjuman al-Mustafid, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan konteks kehidupan masyarakat Aceh. Ia menekankan pentingnya ‘amal jama’i—kerja kolektif dalam membangun kemaslahatan. Menurutnya, damai bukan hasil khotbah, melainkan hasil kerja bersama di atas keimanan.
Abdurrauf mengajarkan bahwa masyarakat yang adil dan berilmu adalah refleksi dari masyarakat yang berzikir kepada Allah. Zikir yang sejati tidak berhenti di bibir, tetapi berbuah pada tindakan nyata: tolong-menolong, menghormati perbedaan, dan menegakkan keadilan sosial.
*Pelajaran untuk Aceh Kini*
Dari tiga tokoh ini, saya menarik satu kesimpulan mendasar:
> Perdamaian di Aceh hanya akan abadi bila ia tumbuh dari kesadaran spiritual, ditegakkan dengan ilmu dan hukum, serta dijaga lewat kerja bersama.
Aceh modern—dengan segala dinamika pascakonflik dan pembangunan—memerlukan kembali spirit ini. Perdamaian bukan hanya hasil kesepakatan politik atau rekonsiliasi formal, tetapi buah dari pendidikan jiwa dan budaya ilmu. Setiap warga Aceh memikul warisan intelektual ulama terdahulu yang memandang ilmu dan iman sebagai dua sayap perdamaian.
Kini, di tengah dunia yang gaduh oleh polarisasi dan kehilangan makna, pesan naskah-naskah kuno itu berbisik lembut kepada kita:
Damai itu bukan hadiah dari luar; ia tumbuh dari hati yang mengenal Tuhannya.
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Pengkajian Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
.jpg)