Op. Melita Sirait : Kembalikan Tanah Adat, Baru Bicara Bisnis

/ Minggu, 19 Agustus 2018 / 19.36.00 WIB

POSKOTASUMATERA.COM-AJIBATA-Masyarakat Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Toba Samosir meminta agar tanah adat mereka yang diklaim masuk kawasan hutan Negara selama ini agar dikembalikan oleh pemerintah.

Hal itu disampaikan dalam dialog bersama perwakilan Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), Pemkab Tobasa dan anggota DPRD Tobasa, di Sosor Dolok, Desa Sigapiton, Kecamatn Ajibata, Toba Samosir, Rabu (15.8/18).

Dalam dialog yang digagas oleh Bius Raja Paropat Sigapiton yang terdiri dari Marga Butar-Butar, Sirait, Manurung, Nadap-dap dan marga Nahinela tersebut, masyarakat adat Raja Paropat menegaskan bahwa mereka menyambut baik program pembangunan pariwisata yang dicanangkan pemerintah pusat, namun persoalan utama mereka saat ini adalah status kepemilikan tanah adat mereka.

Dimana ada klaim Negara bahwa sebagian besar wilayah adat mereka masuk dalam kawasan hutan lindung. Oleh karena itu mereka memohon agar hal yang paling penting diselesaikan terlebih dahulu adalah persoalan tanah adat mereka agar segera dikeluarkan dari kawasan hutan barulah bicara bisnis pariwisata.

Hal itu diungkapkan oleh Op. Melita Sirait (72) sebagai perwakilan Raja Bius Paropat Sigapiton. Mereka menegaskan bahwa tidak ada gunanya membicarakan program wisata lainnya yang akan dikembangkan di wilayah adat mereka jika status kepemilikan tanah mereka belum jelas.

Mereka selama ini tidak mengetahui jika wilayah adat mereka masuk dalam kawasan hutan dan mereka tidak pernah menyerahkan wilayah adat Sigapiton kepada pihak kehutanan. Sehingga dalam dialog tersebut Raja Bius Paropat meminta kepada BOPDT supaya memperhatikan persoalan tersebut jika ingin menyejahterakan masyarakat Sigapiton.

Hal senada juga diungkapkan Mangatas Togi Butarbutar selaku perwakilan dari Suku/marga Butarbutar Sigapiton. Pihaknya meminta pemerintah cq KLHK untuk mengembalikan tanah adat mereka seluas 120 hektar yang selama ini telah mereka perjuangkan dengan susah payah.

Namun belakangan ini tanpa sepengetahuan mereka pemerintah menjadikan tanah adat yang diwariskan dari leluhur mereka tersebut  masuk ke dalam zona pengelolaan BPODT.

“Kami minta kepada pemerintah agar mengembalikan tanah adat kami seluas 120 hektar yang kini sudah dipatok jadi kawasan pengelolaan BPODT. Sebelum lahirnya BODT, kami para ahli waris keturunan Op. Raja Niondol sudah memohonkan pengembaliannya ke pemerintah lewat mekanisme yang berlaku agar dilepaskan dari kawasan hutan. Namun, sampai saat ini pemerintah  terkesan tidak ada niat baik untuk menyelesaikannya," ungkap Togi Butarbutar seraya berharap  ada solusi penyelesaiannya dari BPODT.

Menanggapi permohonan Raja Bius Sigapiton, Basar Simajuntak yang hadir mewakili BPODT memohon maaf bahwa persoalan tanah bukanlah wewenag BPODT. Oleh karena itu yang bisa disampaikan dalam dialog tersebut adalah tentang program-program pariwisata yang akan dilakukan di Sigapiton.

BPODT sebutnya memiliki peran untuk mensejahterakan masyarakat melalui program-program pengembangan pariwisata.

“Kami tidak bicara soal status lahan. Kami sifatnya hanya sebagai fasilitator. Jika program ini berjalan, kita semuanya meningkat kesejahteraannya, sejahtera itu ada ukurannya, lebih gampang menyekolahkan anak, lebih gampang membeli makanan, bajunya lebih bagus, rumahnya lebih bagus, dan perlahan-lahan hidup kita meningkat kesejahteraannya. Ini bukan hanya disini saja, ini ada dibeberapa tempat, ada di Meat, Sibandang dan ditempat-tempat lainnya,” ujar Basar.

Tata S Ridwanullah, Direktur Destinasi Wisata BPODT didampingi Jhon M Situngkir Direktur BPODT juga menjelaskan bahwa pembangunan pariwisata danau toba akan dilakukan bersama-sama masyarakat.

Tidak hanya pembangunan fisik tetapi juga Sumber Daya Manusia (SDM). Danau Toba menjadi salah satu dari empat super prioritas program pengembangan pariwisata di Indonesia. Oleh karena itu masyarakat harus disiapkan untuk terlibat dalam pembangunan tersebut, untuk mendukung amenitas, aksesibilitas dan atraksi yang menjadi unsure penting pariwisata.

“Untuk amenitas nantinya peran masyarakat sangat penting. Karena BPODT akan membangun hotel dan resort, supaya masyarakat petani bisa mensuplay hasil pertanian ke pengelola resort. Dalam pembangunan juga akan melibatkan masyarakat sebagai tenaga kerja yang tentunya harus tetap diseleksi. Mar kita ikuti saja prosesnya,” jelasnya.

Tata menegaskan kembali bahwa persoalan lahan bukan domain BPODT, salah satu tugas mereka mendatangkan wisatawan yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Apron Sirait, anggota DPRD Toba Samosir, menjelaskan bahwa pembangunan pariwisata di Sigapiton harus benar-benar melibatkan tokoh-tokoh adat dan juga mengingatkan agar Kepala Desa juga melibatkan masyarakat lainnya tidak hanya tunduk pada atasannya.

Sebagi putra daerah Sigapiton, dirinya akan tetap berjuang bersama masyarakat untuk mempertahankan tanah adat agar tidak diserobot oleh pihak-pihak lain. Apalagi sudah sejak lama masyarakat adat dari Suku/marga Butarbutar Sigapiton telah memperjuangkan pengembalian tanah adat mereka seluas 120 hektar di Sileang-leang agar dilepas dari kawasan hutan.

Dia juga berharap masyarakat tetap bersatu untuk memajukan Desa Sigapiton.

Direktur KSPPM Delima Silalahi yang mendampingi masyarakat adat Sigapiton meminta agar BPODT lebih transparan menjalankan program-programnya, khususnya terkait dampak lingkungan yang akan terjadi ke depan jika pembangunan di areal zona otoritatif Danau Toba dilaksanakan.

Sampai saat ini dokumen AMDAL mereka sangat sulit diakses. Hal lain yang penting dilakukukan adalah bagaimana BPODT juga mampu merespon dan terlibat dalam penyelesaian konflik kepemilikan tanah adat dan sumber daya alamnya sebagai persoalan utama di Sigapiton secara khusus dan desa-desa lainnya di Danau Toba.

Hal senada juga disampaikan Rocky Pasaribu, staf Study dan Advokasi KSPPM, bahwa BPODT sebagai perwakilan Negara jika memiliki niat baik membangun masyarakat Sigapiton bisa menggunakan kewenangan menghadirkan pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk membantu menyelesaiakan tuntutan pengembalian tanah adat milik Raja Paropat Sigapiton.

Dipenghujung acara, perwakilan Raja Bius Paropat, yakni marga Butar-Butar, Sirait, Manurung dan Nadap-dap bersama J. Epentus Gultom Kepala Desa Sigapiton juga mendesak BPODT agar segera memfasilitasi pertemuan dengan KLHK untuk menyelesaikan konflik tanah adat mereka. (PS/REL)


Komentar Anda

Terkini: