Dalam pemaparannya menyebutkan,di Tanah Batak lapo (kedai),juga
termasuk di Suku Pakpak tidak hanya tempat makan atau minum kopi, kopi
susu, teh manis, teh susu,
atau tuak. Tetapi juga berfungsi sebagai tempat marpollung (adu argumentasi), markombur (ngobrol) , membahas berbagai isu, atau memberitahukan sesuatu ke para
sahabat. Fungsi itu tetap sama sampai sekarang namun, sesuai perkembangan zaman, tema-tema yang dibicarakan sudah berbeda.
Di
tahun ‘60-an belum ada TV, telepon; apalagi handpnone (HP). Yang ada baru koran atau radio dan itu pun di rumah-rumah
keluarga Batak tertentu saja.Ya, di kediaman keluarga kaum berpunya
atau terpandang di kampung.
Perbincangan para pengunjung-tetap lapo tidak banyak dipengaruhi isu-isu dari luar.
Percakapan mereka
terutama menyangkut keluarga, pendidikan anak, pertanian, serta seputar acara
gereja dan adat.
Selain marnonang, pengunjung lapo sering pula bermain catur dan bernyanyi. Lagu-lagu Batak
klasik seperti ‘Na Sonang do Hita Nadua’, ‘Madekdekma Gambiri’, ‘Di Rondang ni Bulan I’ dinyanyikan sambil
diiringi petikan gitar yang memukau.
Senin
sore, topik yang dibahas biasanya
isi khotbah parjamita [pengkhotbah]
dan pesta adat yang
dihadiri mereka pada hari hari sebelumnya. Komentar akan berlontaran. Pada hari
onan [pekan] pembahasannya
harga jual hasil tani. Yang satu ini pun selalu dihubungkan dengan biaya
pendidikan anak.
Setamat
SD, anak mereka umumnya harus bersekolah
di luar kota. Mereka sadar bahwa hanya dengan
pendidikan setinggi-tingginyalah anak bisa mendapatkan kedudukan dan
kehormatan kelak. Semangat lagu ciptaan komponis raksasa Guru Nahum Situmorang,
‘Anakkon hi do Hasangapon di Au’ merasuki pikiran mereka. “Anakhonhi do hamoraoan di au…Hugogo pe
mansari arian nang bodari, laho pasingkolahon
gellengki, naingkon do marsingkola do satimbo-timbona, singkap ni na tolap
gogokki” (“Anakkulah
kehormatan bagiku…Aku berusaha mencari nafkah siang-malam demi sekolah anakku, mereka harus bersekolah
setingginya sesuai kemampuanku).
Ketika harga-harga kebutuhan naik dan, pada sisi lain, harga-harga hasil tani turun suara mengeluh pun terdengar di lapo: “Dago Lae, nga madabu arga ni kopi nang arga ni haminjon. Hape ingkon kirimon hepeng tu beremuna di Siantar nang Medan." (Duh, Lae (ipar), harga kopi dan kemenyan jatuh. Padahal harus ngirim uang ke keponakan Anda di Siantar dan Medan.”). Lelaki dewasa lainnya ada kalanya mengutarakan kebahagiaan diri di sana karena baru saja menerima surat dari anak di perantauan.
Dimasa itu surat dari anak sering disimpan hingga berhari-hari di bawah lage podoman/Blagen dalam bahasa Pakpak (tikar) untuk tidur; saat itu kasur masih asing. Bisa berulang kali dibaca bergantian oleh ayah dan ibu tulisan tersebut manakala rindu menyergap. Air mata pun menitik. Bagaimana keadaan anakku di rantau? Pertanyaan itu yang mengusik. Terkadang, dengan surat dalam genggapan, si ayah akan menghampiri si ibu dan berucap, “Martangiang hita Inang. Tatangiangkon anakta asa sehat ibana jala pistar. Asa boi ibana haduan gabe pangondian ni angka anggina.” (Berdoa kita Inang. Kita doakan anak kita agar dia sehat dan pintar. Agar dia kelak bisa menjadi tumpuan adik-adiknya.”).
Doa pun
dipanjatkan. “Tuhan, lindungilah anakku. Beri dia kesehatan dan kepintaran agar
kelak ia menjadi anak yang berguna bagi keluarga dan Tuhan….”
Ada
juga pengunjung tetap lapo yang
memerlihatkan surat wesel dari anaknya yang sudah bekerja di rantau. Dengan bangga, misalnya, orangtua yang sedang
berbahagia betul karena baru menerima uang kiriman itu akan menceritakan dimana anaknya bekerja.
Mendengar cerita tentang gaji pertama yang dikirim anak, kawan-kawannya akan menimpali. "Martua ho da, nungnga karejo anakmu. di Duane, muse. Jala burju marnatua-tua. Ia bohama songon iba on: di ingot pe daong.” [Ah, bahagialah Anda. Apalagi anak Anda di Bea Cukai. Juga, baik ke orangtua. Sementara saya ini, diingat anak pun tidak.”)
POLITISI LAPO
Lain
dulu, lain sekarang. Kemajuan teknologi di zaman kini ternyata telah mengubah
pokok bahasan alias wacana di lapo. Percakapan tentang harga komoditas pertanian yang turun-naik,
sekolah anak, atau uang kiriman dari rantau sudah jarang terdengar. Sebab?
Hampir
setiap rumah dan lapo memiliki
televisi dewasa ini. Handphone ada
dalam genggaman hampir setiap orang. Dengan perangkat itu setiap saat mereka
dibanjiri segala macam informasi yang mengalir dari seluruh penjuru dunia.
Perbincangan lapo pun akhirnya
didominasi wacana politik. Lingkup bahasan mulai dari politik tingkat lokal
hingga nasional dan global. Bayangkanlah: mereka
tidak hanya membahas Presiden Jokowi dan para menterinya tapi juga Presiden Donald Trump dan calon
presiden Joe Biden. Bahkan istri Trump, Melania, jadi topik ulasan
pula.
Ketika
bicara tentang gereja dan jamita
[khotbah] pun, aspek politik yang lebih mengemuka. Mulai dari soal organisasi huria [gereja], pemilihan pimpinan
gereja lewat sinode godang [akbar]
atau sinode distrik, penolakan terhadap pendeta, dan penggunaan dana gereja yang dikupas.
Pada
masa pemilu lokal dan nasional, lapo kontan
menjadi ajang kampanye. Pengunjung membahas tuntas calon yang mereka dukung.
Perbincangan lantas bisa berubah menjadi perdebatan yang memanas antara
pendukung kelompok yang berbeda.
Nama
tokoh-tokoh seperti Jokowi, Jusuf Kalla (JK), Ma’ruf Amin, Luhut Binsar
Panjaitan (Luhut atau LBP), Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), Djarot
Saiful Hidayat, atau
Akbar Tanjung serasa tidak asing bagi
mereka. Ketika membicarakan, para anggota komunitas lapo seakan kenal betul dan
dekat dengan para figur utama tersebut. Itu akibat banjir informasi tentang
mereka di media konvensional dan media sosial. Lewat hape itu bisa diakses
kapan saja. Hoax [informasi bohong]
juga jadi pembahasan serius; seakan itu faktual adanya.
Perbincangan
mereka juga sangat kekinian seiring dengan update berita di televisi, media massa, atau media sosial yang mereka ikuti. Tidaklah mengherankan jika mereka begitu well-informed [mengetahui] tentang serangkaian kunjungan para menteri
dan Presiden Jokowi ke Danau Toba, kawasan yang sudah dicanangkan sebagai
salah satu tujuan wisata utama setelah Bali. Juga kita tidak
perlu heran kalau mereka mengetahui berita tentang Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut
Binsar Panjaitan, dan Menlu China yang langsung terbang ke Bandara
Silangit, Siborong-borong, untuk bertemu di Danau Toba awal tahun ini.
Saya
yakin, setelah menonton televisi sambil mangalsip
(mengisap) sigaret dan mandorguk (meneguk)
tuak, salah satu di
antara mereka berkata kepada
teman-temannya: “Bah fuang, didok si LBP
di Humbahas, Pakpak Bharat, Taput, dohot
Tapteng adong nama food estate.
Dohot rumah sakkit internasional, hotel internasional.
Jalan tol Medan - Parapat sahat tu
Sibolga. Molo jadi, bukkan main nama kemajuan ni kawasan Danau Toba on, ate….(Wah, kata si LBP di Humbahas, Pakpak Bharat, Taput, dan Tapteng bakal ada food estate. Kalau jadi, bakal bukan main kemajuan kawasan Danau Toba
ini, kan...”)
Saya
juga yakin mereka pasti membicarakan itu dengan riuh dan ramai. Namun saya
tidak yakin apakah para ‘politisi lapo’ yang sudah terbiasa terperangkap dalam
awang-awang jagat politik itu bisa turun dan ‘membumikan’ berita
menggembirakan itu ke masyarakat Danau Toba dengan
pesan inti bahwa
semuanya itu demi kemaslahatan bersama.
Adakah mereka membahas soal persiapan
sumber daya manusia kawasan Danau Toba untuk mendukung program-program
tersebut? Toh, ini persoalan nyata yang harus diatasi kalau para
penghuni kawasan Danau Toba ingin mendapatkan keuntungan dari semua program tersebut. Sekaranglah
saatnya mengobarkan kembali semangat “Anakhonhi
do hamoraon di ahu, jala ingkon singkola satimbo-timbona” yang dulu selalu mengemuka di lapo.
Kita
perlu membangun pendidikan kejuruan bidang pariwisata, keperawatan, dan yang lain. Kita membutuhkan tenaga-tenaga trampil untuk mengisi
posisi-posisi di hotel-hotel
internasional, rumah sakit internasional,
food estate, perusahaan, dan lembaga
lain yang akan bermunculan di kawasan Danau Toba.
Itulah
thema
yang perlu kita diskusikan bersama. Bukan saja di lapo dengan mengurangi dorgukan tuak. Tapi di gereja setelah selesai acara kebaktian
Minggu dan di masjid seusai sholat. Dengan cara itulah bangsa kita
bisa maju. Horas. Mejuah-juah. Njuah-juah. (PS/K.TUMANGGER)