ZULKAIDI SE : Minta Pemko Lhokseumawe Maksimalkan Pendidikan Dayah

/ Kamis, 05 Januari 2023 / 19.30.00 WIB
SUASANA PARIPURNA 

POSKOTASUMATERA.COM|LHOKSEUMAWE - Sejarah telah mencatat bahwa peran santri dalam penyelenggaraan pendidikan islam dan konstribusinya terhadap negara, kita mulai dengan lembaga pendidikan Islam tertua di Aceh yaitu Dayah (bahasa Aceh) atau sering disebut juga pesantren.

Kata Dayah itu sendiri berasal dari bahasa Arab “zawiyah”. istilah zawiyah itu sendiri bermakna sudut, yang kalau dilihat dari salah satu sejarahnya dan diyakini oleh masyarakat Aceh, bahwa pertama sekali Rasulullah mengunakan sudut mesjid Medinah ketika Nabi memberi pelajaran kepada para sahabat di awal Islam.

Demikian dikatakan oleh Ketua Komisi D DPRK Lhokseumawe Zulkaidi yaitu komisi yang membidangi bidang Syariat Islam dan Peningkatan Kesehjahteraan dalam wawancara khusus dengan media ini awal tahun kerja 2023 kemarin.

Menurut Zulkaidi Politisi Muda dari Fraksi Gerindra mengatakan kata zawiyah dipahami sebagai pusat agama dan kehidupan sufi yang kebiasaannya menghabiskan waktu 1di perantauan. lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama dan pada waktu-waktu tertentu zawiyah juga dijadikan sebagai pondok bagi pencari kehidupan spiritual, nama Zawiyah juga kemudian sampai ke Aceh.

Dalam bahasa Aceh zawiyah itu akhirnya berubah menjadi Dayah karena dipengaruhi oleh bahasa Aceh yang pada dasarnya tidak memiliki bunyi “Z” dan cendrung memendekkan.

Dayah menjadi lembaga pendidikan islam yang mendapat dukungan penuh kerajaan Aceh Darussalam tempoe dulu, kemudian dalam sejarahnya tumbuh dan tenggelam seiring dengan perjalanan sejarah Aceh itu sendiri.

Dayah yang merupakan lembaga pendidikan Islam dengan bertujuan untuk membimbing anak didik (Aneuk Dayah, santri, thalabah) untuk menjadi manusia yang berkepribadian islami, untuk menjadi pengayom umat dan berguna bagi bangsa dan negara serta agama.

Sambung Zulkaidi, dalam Qanun 9 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dayah, definisi Dayah sendiri merupakan lembaga pendidikan islam yang berbasis masyarakat dan dipimpin oleh seorang ulama, mengajarkan kita turast yang muktabar kepada santri yang menetap sedangkan tujuan pendidikan dayah itu sendiri menurut qanun tersebut didefinisikan sebagai satuan pendidikan yang khusus menyelenggarakan pendidikan agama islam.

Dengan referensi bersumber dari kitab kuning yang bertujuan mengembangkan kemampuan, pengetahuan dan ketrampilan thalabah untuk menjadi ahli ilmu agama (mutafaqqih fiddin) atau muslim yang memiliki keterampilan dan keahlian untuk membangun kehidupan yang islami dalam masyarakat, sebut Zulkaidi.

Definisi tersebut diatas bermuara pada pengharapan dayah akan melahirkan insan-insan yang menekankan pentingnya penerapan akhlak agama Islam yang merupakan pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.

Bila ditinjau dari sudut historis kultural, Dayah di Aceh dapat dikatakan sebagai pusat pelatihan yang secara otomatis menjadi pusat budaya Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat di Aceh.

Keberadaan Dayah di Aceh sudah ada sejak aband ke 10, hal ini terbukti dimana Istilah dayah sudah cukup populer di masyarakat Aceh, misalkan penyebutan dayah Cot Kala pada abad ke-10 M, yang juga merupakan dayah pertama di Asia Tenggara, di dayah ini diajarkan pelajaran agama dan pelajaran umum, fungsi dayah pada waktu itu masih terbatas untuk tujuan mengislamisasikan masyarakat disekitar dayah dan untuk menjaga pengamalan Islam oleh pemeluk-pemeluk Islam di sekitar dayah.

Kerajaan Islam Aceh Darusalam pada abad ke 17 masih dicatat sebagai salah satu negara yang kuat dan maju di antara 5 (lima) negara di dunia yaitu kerajaan Muqhal di India, kerajaan Safawi di Isfahan, Kerajaan Islam Maroko di Maroko, Kerajaan Turki usmani di Turki dan Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Aceh.

Sebuah negara akan kuat kalau kuat ekonomi, politik dan militernya. Untuk meng-cover semua itu sudah pasti melalui pendidikan. Pada abad tersebut belum dikenal sistem pendidikan sekolah seperti sekolah sekarang ini, satu-satunya tempat belajar untuk umum adalah dayah sedangkan meunasah berfungsi sebagai tempat belajar anak-anak di kampung dan orang-orang tua dalam bidang agama.

Dalam perjalanannya dayah telah melahirkan banyak sekali ulama yang terkenal, baik dari segi keilmuannya juga dari sumbangsihnya kepada negara. Banyak ulama-ulama Aceh yang syahid saat perang melawan penjajah, membela tanah air, contohnya Teungku Chik Di Tiro, Teungku Chik Kuta Karang, Teungku Fakinah dan seumpama beliau.

Selain itu gerakan perlawanan terhadap kolonialisasi terus bergelora sampai negara Indonesia merdeka, perlawanan terhadap penjajah juga melibatkan para santri sebagai pasukan yang siap syahid. Namun demikian saat kemerdekaan Indonesia, para santri dan kiayi sebagian besar kembali kedayah, pesantren, pondok untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan agama dengan system yang telah ada dan di ajarkan oleh guru –guru mereka, tutur Zulkaidi. (ADV)

Komentar Anda

Terkini: