POSKOTASUMATERA.COM, MEDAN – Pemerintah berencana mengubah sistem pendistribusian pupuk subsidi dari yang sebelumnya menggunakan E-RDKK (elektronik rencana definitif kebutuhan kelompok) menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT). Wacana ini dilontarkan oleh Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, yang mengusulkan agar petani membuka rekening pribadi untuk kemudian membeli pupuk non-subsidi.
Namun, rencana ini mendapat penolakan dari berbagai pihak, termasuk petani dan pengamat. Direktur MATA Pelayanan Publik Sumatera Utara, Abyadi Siregar, menyebut wacana ini sebagai kebijakan yang tidak tepat. Abyadi, mantan Kepala Ombudsman RI Sumut, mengkritik kebijakan tersebut dengan alasan masalah utama yang dihadapi petani selama ini adalah kekosongan stok pupuk subsidi pada saat dibutuhkan.
Menurut Abyadi, permasalahan yang sebenarnya adalah administrasi yang buruk dalam pendataan penerima pupuk subsidi. "Buktinya, pada tahun 2023, ribuan ton pupuk subsidi di Sumut tidak ditebus oleh petani dan akhirnya kembali ke negara," ujarnya. Ia menegaskan bahwa pemerintah harus memperbaiki pendataan petani penerima subsidi, daripada mengubah sistem yang ada menjadi BLT.
Abyadi juga mengkhawatirkan dampak dari BLT Pupuk, yang berpotensi menyebabkan dana tidak digunakan sesuai peruntukannya, seperti untuk membeli kebutuhan non-pertanian. Selain itu, perbedaan harga yang besar antara pupuk non-subsidi dan subsidi dapat memaksa petani membeli pupuk dengan kualitas rendah, yang pada akhirnya merugikan produktivitas pertanian nasional.
Senada dengan Abyadi, Suhardi, seorang petani di Serdangbedagai, juga menolak sistem BLT Pupuk. Menurutnya, sistem distribusi pupuk saat ini sudah berjalan dengan baik dan memastikan pupuk tidak disalahgunakan. Ia berharap pemerintah mengkaji ulang rencana ini demi kesejahteraan petani.
Penolakan terhadap wacana BLT Pupuk ini mencerminkan kekhawatiran mendalam dari para petani dan pengamat mengenai masa depan sektor pertanian jika kebijakan ini diberlakukan tanpa kajian yang mendalam. (PS/SAN)