Kontroversi Konsesi TPL: DPRD Tapsel Tegaskan, Pengadilan adalah Penentu Legalitas Klaim Lahan

/ Jumat, 27 Juni 2025 / 10.24.00 WIB

Armen Sanusi Harahap Anggota DPRD Tapsel 

POSKOTASUMATERA.COM – TAPANULI SELATAN – Sengketa agraria kembali mencuat di Tapanuli Selatan. Kali ini, sorotan tertuju pada surat teguran yang dilayangkan PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) terhadap warga Desa Sanggapati, Kecamatan Angkola Timur, atas dugaan penggarapan lahan di kawasan konsesi hutan produksi. Namun, langkah korporasi ini mendapat kritik tajam dari DPRD setempat yang menilai tindakan tersebut tidak memiliki legitimasi yuridis yang sah.

Surat tertanggal 26 Juni 2025 tersebut ditujukan kepada Sdr. Diana Yusuf Harahap, yang dituduh menanam sawit dan karet di wilayah yang diklaim sebagai bagian dari konsesi TPL berdasarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (PBPH-HTI) dan SK Menteri LHK. Perusahaan menyebut aktivitas warga bertentangan dengan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Namun, aspek legalitas dari klaim konsesi itu sendiri dipersoalkan.

Anggota DPRD Tapanuli Selatan, Armen Sanusi Harahap, menyatakan bahwa tindakan sepihak semacam ini berpotensi melanggar prinsip negara hukum. “Penentuan sah atau tidaknya klaim lahan bukan kewenangan perusahaan, melainkan harus diputuskan di pengadilan. Ini penting agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap masyarakat yang sudah lama bercocok tanam di tanah itu,” ujarnya.

Ia juga menyoroti tidak adanya proses dialog atau mediasi antara perusahaan dan masyarakat terdampak. “Klaim atas konsesi harus dilandasi keadilan sosial dan partisipasi publik. Tidak bisa hanya berpatokan pada peta administratif dari pusat, sementara di lapangan ada masyarakat adat yang hidup turun-temurun di sana,” tambahnya.

Diketahui, dasar klaim TPL adalah SK Menteri LHK No. SK.1487/Menlhk/Setjen/HPL.0/12/2021 jo. SK Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-11/1942. Namun, dari keterangan yang dihimpun, tidak terdapat bukti bahwa telah dilakukan uji lapangan atau pendekatan partisipatif sebelum surat peringatan dikeluarkan. Hal ini dikhawatirkan dapat memperburuk konflik agraria yang telah lama membayangi relasi antara perusahaan dan warga di Tapanuli Selatan.

Koordinator Daerah GRIB Tapanuli Selatan, Marahalim Harahap, menyatakan bahwa persoalan ini bukanlah insiden pertama yang melibatkan TPL. Ia menyebut bahwa telah banyak kasus tumpang tindih antara wilayah konsesi dan lahan pertanian masyarakat, khususnya yang belum memiliki sertifikat formal tetapi secara de facto telah dikuasai secara turun-temurun. “GRIB berdiri di garda depan membela rakyat yang terzalimi,” ujarnya mengutip arahan Ketua Umum GRIB Pusat.

Pakar hukum kehutanan menilai bahwa dalam konteks pasca berlakunya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, penataan ruang dan pemanfaatan hutan seharusnya diarahkan pada prinsip kolaboratif. Negara wajib menjamin bahwa investasi tidak menggusur hak-hak dasar masyarakat lokal, termasuk hak atas tanah dan kehidupan yang layak.

Sebagai respons, DPRD Tapanuli Selatan menyatakan siap melakukan investigasi lapangan. Armen menyebut pihaknya akan memfasilitasi ruang dialog yang melibatkan perusahaan, masyarakat, dan instansi teknis seperti Kementerian ATR/BPN dan Kementerian LHK. “Kami ingin konflik ini diselesaikan secara adil. Tidak dengan tekanan, tapi lewat komunikasi dan mekanisme hukum yang terbuka,” tegasnya.

Armen pun menutup pernyataannya dengan seruan kepada seluruh pihak agar menahan diri. “Negara tidak boleh tunduk pada kepentingan modal semata. Rakyat harus dilindungi. Mari kita cari solusi damai yang menjunjung tinggi keadilan, hukum, dan kemanusiaan di Tapanuli Selatan,” pungkasnya. (PS/BERMAWI)

Komentar Anda

Terkini: