POSKOTASUMATERA.COM – TAPSEL — Gema suara rakyat Tapanuli Selatan kembali menguat, kali ini melalui sosok Armen Sanusi Harahap, anggota DPRD Tapsel sekaligus Sekretaris Jenderal DPC GRIB Tapsel. Dalam pernyataan tegasnya, ia menyuarakan keresahan mendalam masyarakat terhadap keberadaan konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL), yang dinilai tidak hanya menimbulkan ketimpangan sosial, tetapi juga potensi konflik agraria yang berkepanjangan. “Saya bukan provokator. Saya adalah penyambung lidah rakyat,” ujarnya lugas.
Armen menyampaikan bahwa masyarakat meminta perhatian langsung dari Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, sebagai panglima tertinggi negara, untuk segera memerintahkan evaluasi dan peninjauan ulang terhadap izin konsesi PT TPL. Seruan ini dilandasi oleh kekhawatiran masyarakat atas dugaan rekayasa administratif serta kemungkinan terjadinya praktik kolusi dalam proses perizinan yang telah berlangsung selama tiga dekade.
Salah satu titik kritis dalam konflik ini adalah ketidakjelasan tapal batas antara wilayah konsesi perusahaan dan tanah adat masyarakat. Sejak PT TPL beroperasi pada 1992, warga menilai tidak pernah ada keterlibatan mereka dalam proses verifikasi batas lahan. “Kami lahir dan tumbuh di sini, tapi kami diperlakukan seperti orang asing di tanah sendiri,” keluh tokoh masyarakat, Holil Pohan Warga Kecamatan Sipirok dan Zulkipli Siregar dari Kecamatan Angkola Timur yang ikut dalam penyampaian aspirasi.
Kondisi ini menggambarkan adanya persoalan struktural dalam tata kelola kehutanan dan sumber daya alam, di mana suara masyarakat adat seringkali tersisih. Transparansi dan partisipasi publik, yang menjadi prinsip dasar dalam pengelolaan lingkungan berkelanjutan, nyaris tidak terlihat. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, keterlibatan masyarakat adalah elemen krusial.
Armen juga mengungkap bahwa keresahan ini bukan hanya terjadi di satu lokasi, melainkan meluas ke berbagai kecamatan yang masuk dalam wilayah konsesi PT TPL. DPRD Tapsel, ujarnya, telah dan akan terus menjemput serta menyampaikan aspirasi rakyat secara langsung ke pemerintah pusat. “Ini adalah bentuk tanggung jawab moral dan politik kami dalam membela rakyat,” tegasnya.
Selain soal legalitas, Armen juga menyoroti dampak ekologis yang ditimbulkan oleh kegiatan industri skala besar di wilayah sensitif seperti Tapanuli. “Degradasi lingkungan, berkurangnya sumber mata air, dan rusaknya ekosistem lokal adalah hal-hal yang tidak bisa kita abaikan,” katanya. Oleh karena itu, ia menyerukan pentingnya audit lingkungan secara independen yang melibatkan lembaga ilmiah dan masyarakat sipil.
Selama lebih dari 30 tahun beroperasi, kontribusi PT TPL terhadap kesejahteraan masyarakat dinilai masih minim. Yang mencuat justru beragam konflik lahan, ketimpangan sosial, dan trauma kolektif yang terus membayangi masyarakat adat. “Kami ingin keadilan, bukan konfrontasi. Tapi kalau suara kami terus diabaikan, itu sama saja menutup ruang demokrasi,” tambah Armen.
Sebagai penutup, ia menegaskan bahwa perjuangan ini bukan semata soal ekonomi, tetapi menyangkut harga diri, identitas, dan hak hidup masyarakat atas tanah leluhur mereka. Dengan penuh harap, ia dan masyarakat mendesak agar pemerintah membuka ruang dialog dan membentuk tim investigasi independen untuk menelaah setiap proses dan dampak dari konsesi tersebut. “Jangan biarkan rakyat terusir secara perlahan dari tanah kelahirannya sendiri,” pungkasnya dengan penuh keteguhan. (PS/BERMAWI)
