POSKOTASUMATERA - HUMBAHAS,- Ketika sebuah regulasi daerah menyangkut langsung urusan wajib pelayanan dasar, seperti pendidikan, diterbitkan tanpa koordinasi antar pemangku kepentingan, maka alarm demokrasi lokal patut dibunyikan. Peraturan Bupati Humbang Hasundutan Nomor 20 Tahun 2025 yang mengatur penerapan lima hari sekolah menjadi studi kasus krusial dalam menelaah sejauh mana fungsi pengawasan DPRD benar-benar dijalankan atau justru lumpuh dalam praktik.
Ketua Komisi II DPRD Humbang Hasundutan, Gerhana Tumanggor, yang seharusnya berada di garda terdepan pengawasan sektor pendidikan, secara terbuka mengakui belum pernah menerima salinan atau pemberitahuan resmi tentang Perbup tersebut. Hari hari terlibat sejak awal, ia hanya mengetahui informasi sekilas dari sosialisasi Dinas Pendidikan Provinsi terkait kebijakan serupa untuk jenjang SMA/SMK.
Pernyataan tersebut bukan hanya memperlihatkan lemahnya arus informasi antara eksekutif dan legislatif, namun juga menimbulkan pertanyaan besar: Apakah DPRD masih menjalankan mandat konstitusionalnya atau sekadar menjadi penonton dalam tata kelola pemerintahan daerah?
Fungsi DPRD yang Diabaikan?
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan dengan jelas bahwa DPRD memiliki fungsi pengawasan, legislasi, dan penganggaran. Pasal 101 huruf b menegaskan kewajiban DPRD untuk mengawasi pelaksanaan peraturan daerah maupun peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk peraturan kepala daerah seperti Perbup.
Pendidikan, menurut lampiran UU 23/2014, adalah urusan wajib pelayanan dasar yang tidak dapat diputuskan secara sepihak tanpa koordinasi lintas lembaga. Dengan demikian, logika dasar pemerintahan mengharuskan Komisi II DPRD diberi tembusan, jika tidak dilibatkan sejak proses penyusunan.
Namun yang terjadi di Humbahas justru sebaliknya: Ketua Komisi II bingung, dan anggota Komisi lainnya, seperti Poltak Purba, menyederhanakan persoalan dengan menyatakan bahwa Perbup tidak perlu disampaikan ke DPRD kecuali jika DPRD "membutuhkannya". Sebuah pernyataan yang mencerminkan kegagalan memahami ruh dari prinsip check and balances.
Kebijakan Strategis Bukan Urusan Internal :
Memang, tidak semua Perbup harus disetujui DPRD. Hal ini sesuai dengan ketentuan hukum. Namun perlu ditegaskan: tidak berarti DPRD kehilangan hak untuk mengetahui dan mengawasi. Apalagi jika kebijakan menyangkut perubahan ritme belajar mengajar, implikasi anggaran, beban kerja guru, hingga kesiapan infrastruktur dan makan bergizi gratis seperti disebutkan dalam pernyataan Poltak.
Ketika DPRD tidak mengetahui substansi kebijakan yang berdampak luas terhadap masyarakat, maka itu adalah tanda buruk bagi demokrasi lokal. Seorang pengamat pendidikan, Frits Silaban, menyebutnya sebagai “konyol” dan mempertanyakan apa sebenarnya fungsi komisi jika bahkan salinan Perbup pun tak mereka pegang.
Masalah Sistemik: Kurangnya Transparansi Eksekutif?
Kebijakan teknis pendidikan semacam ini tidak bisa lepas dari daya dukung anggaran. Lalu bagaimana Komisi II dapat menilai rasionalitas dan kesiapan kebijakan ini jika mereka tidak dilibatkan atau setidaknya diberi pemberitahuan formal?
Ini adalah potret hubungan eksekutif-legislatif yang tidak sehat. Jika eksekutif terlalu dominan dan legislatif hanya pasif menerima dampak, maka prinsip demokrasi partisipatif di daerah hanyalah formalitas belaka.
Aspirasi Publik Tidak Boleh Diabaikan :
DPRD adalah representasi rakyat, maka Komisi II seharusnya menjadi corong utama menampung aspirasi masyarakat. Apakah semua orang tua dan tenaga pendidik mendukung lima hari sekolah? Bagaimana daerah terpencil dengan keterbatasan transportasi dan akses internet menjalani kebijakan ini?
Apakah evaluasi telah dilakukan secara menyeluruh atau hanya sekadar mengikuti arahan pusat demi alasan seragam nasional? Pertanyaan-pertanyaan ini tak akan muncul jika Komisi II DPRD menjalankan tugasnya dengan baik.
Saatnya DPRD Bangkit Dari Tidur Legislasi :
Kebijakan pendidikan lima hari sekolah bukan sekadar teknis administratif. Ini adalah kebijakan strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Maka, kegagalan Komisi II DPRD Humbahas untuk mengetahui, apalagi mengawasi, Perbup Nomor 20 Tahun 2025 merupakan cermin buruk tata kelola pemerintahan daerah.
Kepala daerah boleh menerbitkan Perbup, tetapi pengawasan terhadap pelaksanaan Perbup adalah mutlak tugas DPRD. Bukan hanya ketika “dibutuhkan”, tetapi sejak awal kebijakan itu disusun dan dijalankan.
Komisi II DPRD seharusnya dilibatkan atau setidaknya diberi tembusan terkait Perbup Nomor 20 Tahun 2025. "DPRD juga tetap memiliki hak konstitusional untuk melakukan pengawasan dan meminta klarifikasi terutama jika kebijakan tersebut menyangkut pelayanan publik seperti pendidikan." bukan saat dibutuhkan baru diminta seperti ucapan yang disampaikan Poltak Purba melalui pesan whatsApp, Senin, 14/7/2025.
"Selain sesuai dengan fungsi pengawasan dan penganggaran, hal ini untuk memastikan kebijakan tersebut tidak menimbulkan masalah implementasi di lapangan, dan Jika belum menerima Perbup tersebut, Komisi II berhak meminta salinannya kepada eksekutif untuk dievaluasi.
Jika DPRD terus diam, maka publik patut khawatir: bukan hanya hak pendidikan anak-anak yang diabaikan, tetapi juga fungsi demokrasi lokal yang sedang sekarat. (PS/BN)
