Dalam sebuah surat terbuka yang beredar luas di kalangan wartawan, disebutkan bahwa terdapat organisasi pers tertentu yang menjalin komunikasi intensif dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) untuk memperoleh anggaran publik demi pelaksanaan UKW/SKW.
Ironisnya, kegiatan tersebut digambarkan sebagai "pembinaan profesi", namun faktanya cenderung menutup ruang bagi jurnalis independen dan non-anggota organisasi.“Apakah sinergi dengan pemerintah daerah harus dibayar dengan karpet merah bagi satu organisasi tertentu saja?” tulis salah satu penggiat media dalam surat tersebut.
Menurut Frish Silaban dalam siaran persnya menyampaikan bahwa UKW itu sejatinya merupakan bagian penting dalam upaya meningkatkan profesionalisme wartawan. Dalam Peraturan Dewan Pers, UKW bertujuan untuk menguji pemahaman wartawan terhadap kode etik jurnalistik, UU Pers No. 40 Tahun 1999, serta kemampuan teknis menulis dan menyusun berita yang sesuai kaidah.
Namun demikian, pelaksanaan UKW yang bersumber dari dana APBD semestinya bersifat inklusif dan bebas dari nuansa monopoli organisasi. Penggunaan dana publik untuk kegiatan profesi seharusnya mengedepankan transparansi, akuntabilitas, serta manfaat luas bagi insan pers, bukan dijadikan alat legitimasi eksklusivitas. “UKW yang dibiayai negara bukanlah dosa, selama tidak dijadikan komoditas eksklusif demi kepentingan segelintir kelompok,” lanjut kritik tersebut.
Sejumlah jurnalis independen juga mengaku kecewa atas praktik "penyelenggaraan tertutup" yang seringkali tidak melibatkan mereka, padahal mereka aktif dalam kerja-kerja jurnalistik, bahkan tanpa dukungan dana atau sertifikat.
Pengamat komunikasi dan media, Frish Silaban menyatakan bahwa profesionalisme jurnalis tidak semata-mata diukur dari sertifikat, tetapi dari konsistensi dalam menjaga integritas, etika, serta keberpihakan pada kepentingan publik.
“Profesi ini bukan milik organisasi mana pun, tetapi milik publik. Dan jurnalisme yang sehat lahir dari kerja nyata, bukan dari proposal dan foto bersama pejabat,” ujar Frits Silaban.
Meningkatkan kualitas wartawan memang perlu, namun sepatutnya dilandasi oleh prinsip keadilan akses, bukan berdasarkan afiliasi organisasi. Publik sebagai pemilik kedaulatan informasi juga berhak tahu bagaimana uang negara digunakan, termasuk dalam urusan pembinaan profesi wartawan.
Polemik ini menjadi pengingat penting bagi dunia pers: bahwa tugas utama jurnalis bukan mengejar sertifikasi semata, tetapi menjaga marwah jurnalistik melalui etika, kompetensi, dan keberanian menyuarakan kebenaran tanpa pamrih dan tanpa bergantung pada kekuasaan. (PS/BN)
