POSKOTASUMATERA.COM– TAPSEL-Di tengah semilir angin pegunungan Angkola Timur, dentuman suara rakyat menggema, lebih lantang dari riuh kemerdekaan. Sabtu (17/8/2025), Desa Batangtura Julu bukan diramaikan oleh musik dan pesta rakyat, melainkan oleh pekikan perlawanan: “Kami menolak bantuan PT Toba Pulp Lestari! Bubarkan TPL!”
Puluhan warga, dari anak-anak hingga orang tua, berkumpul dengan wajah penuh duka namun mata yang menyala dengan tekad. Para ibu mendekap buah hati mereka, seakan berjanji melindungi generasi mendatang dari ancaman kehancuran. Para bapak berdiri tegak, membawa suara leluhur yang tanahnya pernah subur, kini tinggal cerita pahit.
Bagi warga Batangtura Julu, bantuan perusahaan bukanlah pertolongan, melainkan garam yang ditabur di atas luka. Mereka tak melupakan bagaimana sawah dulunya menghijau, kini retak kering. Kebun yang dahulu menjadi sumber nafkah, berganti jadi lahan mati. Sungai yang pernah menjadi sumber kehidupan, perlahan berubah keruh oleh jejak industri.
Yang mereka lawan bukan sekadar pemberian sekarung bantuan, melainkan jejak panjang penderitaan. Hidup mereka terkikis seiring hutan yang lenyap. Anak-anak kini belajar dengan perut lapar, sekolah terasa jauh karena biaya hidup menekan, sementara alam—sumber kehidupan mereka—diperas tanpa ampun.
“Bantuan tak bisa mengganti sungai kami yang mati. Bantuan tak bisa menghidupkan ladang kami yang kering,” teriak seorang tokoh warga dengan suara parau, namun penuh keyakinan. Seruan itu diikuti riuh tepukan tangan, menjadi dentuman solidaritas yang mengguncang pertemuan.
Penolakan ini adalah tanda kebangkitan. Simbol bahwa rakyat kecil pun bisa bersuara melawan ketidakadilan ekologis. Bahwa mereka berhak atas bumi yang lestari, air yang bersih, dan udara yang sehat. Dan bahwa harga diri tak bisa ditukar dengan bantuan sesaat.
Desakan pembubaran PT TPL bukanlah amarah tanpa alasan, melainkan puncak dari luka yang dipendam bertahun-tahun. Di Batangtura Julu, perlawanan bukan sekadar tuntutan—ia adalah sumpah untuk melindungi generasi yang akan datang. Pesan yang tegas: pembangunan sejati tak boleh berdiri di atas puing penderitaan rakyat dan kehancuran bumi.(PS/BERMAWI)
