POSKOTASUMATERA.COM – TAPSEL –Upaya penyelesaian konflik lahan antara masyarakat Kecamatan Angkola Timur dan Kecamatan Sipirok dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) kembali dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) ketiga yang digelar Komisi B DPRD Kabupaten Tapanuli Selatan, Senin (20/10/2025), di ruang Komisi B DPRD Tapsel. Rapat ini menjadi tonggak penting setelah dua pertemuan sebelumnya tidak dihadiri pihak perusahaan, menandakan keseriusan DPRD untuk mencari jalan keluar dari polemik agraria yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Rapat dipimpin oleh Ketua Komisi B, Nurhayati Pane, dan dihadiri anggota DPRD di antaranya Andesmar Siregar, S.Kom, Drs. H. Ali Adanan Nasution, Faisal Siregar, Edy Aryanto Hasibuan, serta Armen Sanusi Harahap dari Tokoh masyarakat Kecamatan Angkola Timur. Dari unsur pemerintah turut hadir Camat Angkola Timur, Camat Sipirok, Kepala KPH X Kamaruzzaman Nasution, dan Staf Ahli Bidang Pemerintahan, Ali Akbar Hutasuhut. BPN Tapsel. Sementara dari pihak perusahaan hadir Ramson Simamora, Reguel, dan Linggom Dongoran, mewakili manajemen TPL.
Dalam pembukaannya, Nurhayati Pane menegaskan bahwa DPRD Tapsel berkomitmen menjadi penengah yang objektif dan transparan. Ia membacakan hasil dua RDP sebelumnya yang menampung aspirasi masyarakat dan menuntut klarifikasi langsung dari perusahaan. “Komisi B hadir untuk memastikan keadilan dan keterbukaan. Kami ingin mendengar langsung penjelasan dari TPL agar konflik ini dapat diselesaikan secara terang dan adil,” ujarnya tegas.
Sementara itu, Ketua Fraksi Golkar Andesmar Siregar menyoroti pentingnya kejujuran dan keterbukaan data dalam proses penyelesaian. Ia mengingatkan bahwa konflik agraria tidak bisa diselesaikan hanya dengan retorika. “Kita ingin yang terbaik untuk daerah ini. Jangan ada kebohongan dalam setiap pernyataan,” katanya. Sejalan dengan itu,Ketua Fraksi Hanura Faisal Siregar menegaskan perlunya dialog yang santun dan bermartabat agar solusi damai dapat tercapai tanpa memperpanjang ketegangan antar pihak.
Menanggapi hal itu, Linggom Dongoran dari pihak TPL menyampaikan bahwa perusahaan telah menjalankan kegiatan operasional berdasarkan Rencana Kerja Perusahaan (RKP) yang disetujui Kementerian Kehutanan. Ia menegaskan pihaknya tidak bermaksud merusak lingkungan dan telah melakukan sosialisasi di sejumlah desa. Namun, klaim ini dibantah keras oleh warga, salah satunya Holi Pohan dari Desa Batangtura Julu yang menyebut bahwa sosialisasi tidak pernah dilakukan. “Lahan saya lima hektar diganggu tanpa pemberitahuan. Itu bohong,” tegasnya. Hal senada juga diungkapkan Sinargita Pohan yang mengaku lahan seluas 2,3 hektarnya rusak akibat aktivitas perusahaan.
Dari perspektif adat dan sejarah, Tokoh Adat Angkola Timur, Malim Suten, mengungkap fakta bahwa tanah yang kini menjadi kawasan konsesi TPL sebenarnya merupakan lahan yang pada tahun 1953 diserahkan masyarakat kepada pemerintah untuk penghijauan, bukan untuk dijadikan hutan negara. “Pada tahun 1973, para raja dan pemerintah sepakat bahwa kayu boleh diambil, tapi tanah tetap milik masyarakat,” paparnya sambil menunjukkan dokumen lama sebagai bukti.
Sementara dari pihak pemerintah, Ali Akbar Hutasuhut menjelaskan bahwa Pemkab Tapsel bersama Forkopimda telah menindaklanjuti keluhan masyarakat dengan melakukan inventarisasi lahan di 21 desa terdampak, meliputi 12 desa di Angkola Timur dan 9 desa di Sipirok. Pemerintah juga tengah mengusulkan sertifikasi hak milik (SHM) atas 4.447,36 hektar lahan masyarakat yang terdampak konsesi. “Kami sudah tiga bulan bekerja menampung aspirasi warga, melakukan pematokan, dan memastikan lahan masyarakat tidak tumpang tindih dengan wilayah konsesi TPL,” jelasnya.
Kepala KPH X, Kamaruzzaman Nasution, turut menegaskan bahwa izin TPL berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan terkait pemanfaatan hasil hutan kayu (PPPH) memang memiliki batasan ketat. “TPL wajib melakukan pemulihan hutan dan tidak boleh menanam di luar area izin RKT dan RKU. Bila mereka melanggar, maka itu harus ditindak,” ujarnya. Ia menyatakan siap turun ke lapangan bersama DPRD dan masyarakat untuk memastikan kebenaran di lapangan.
Sementara mewakili BPN Tapsel mengatakan Banyak yang di APL masuk konsensi. Ada Alas hak bisa kami buatkan sertifikat.
Suasana rapat dengar pendapat antara masyarakat Kecamatan Angkola Timur dan Kecamatan Sipirok dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di ruang Komisi B DPRD Tapanuli Selatan berlangsung tegang dan penuh dinamika. Ketegangan memuncak ketika Armen Sanusi Harahap, tokoh masyarakat Angkola Timur yang juga Anggota DPRD Tapsel, dengan lantang menuding PT TPL telah melakukan pembohongan publik terkait batas wilayah konsesi perusahaan. Dengan suara bergetar menahan emosi, Armen menegaskan kesiapannya untuk disumpah demi membuktikan kebenaran bahwa perusahaan pernah mengajukan permohonan penetapan tapal batas kepada Pemkab Tapanuli Selatan. “Kalau memang ada tapal batas, mana berita acaranya? Jangan DPRD pun kalian bohongi, apalagi masyarakat. Ini masalah serius dan tidak bisa dianggap sepele,” ujarnya tegas di hadapan peserta rapat.
Dalam suasana yang penuh keprihatinan, Armen Sanusi Harahap juga menyampaikan apresiasi dan rasa terima kasih yang mendalam kepada para anggota DPRD Komisi B yang menunjukkan kepedulian terhadap keluhan masyarakat terdampak. Ia menilai, sikap tegas dan empati para wakil rakyat tersebut menjadi bukti bahwa suara rakyat masih mendapat ruang di lembaga legislatif. “Atas nama masyarakat Angkola Timur dan Sipirok, kami menyampaikan ribuan terima kasih kepada anggota Komisi B DPRD Tapsel yang peduli dan peka terhadap penderitaan masyarakat akibat keserakahan PT TPL. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak Bupati Tapsel, H. Gus Irawan Pasaribu, yang terus berjuang memberikan yang terbaik bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyatnya,” tambah Armen di akhir rapat.
Namun, kekecewaan mendalam juga mewarnai jalannya forum tersebut. Ketua Fraksi Golkar DPRD Tapsel Andes Mar Siregar menyatakan kekecewaan atas ketidakhadiran pihak PT TPL setelah rapat sempat diskors untuk istirahat, salat, dan makan siang (Isoma). Ketidakhadiran tersebut dinilai sebagai bentuk ketidakseriusan perusahaan dalam menyelesaikan konflik yang telah menahun antara masyarakat dan pihak korporasi. “Kami sangat kecewa. Ini forum resmi dan terhormat. Ketidakhadiran TPL setelah diskors hanya menunjukkan kurangnya itikad baik untuk mencari solusi yang berkeadilan,” ujarnya dengan nada tegas. Rapat pun ditutup dengan rekomendasi agar Pemkab Tapanuli Selatan segera menindaklanjuti persoalan batas konsesi secara transparan dan berdasarkan data yang sahih. (PS/BERMAWI)

