Bupati menyapa setiap petugas, memeriksa kondisi alat berat, menanyakan ketersediaan logistik, hingga memastikan bahwa jalur evakuasi masyarakat tetap terbuka.
Beberapa petugas mengangguk kagum melihat kehadiran beliau yang begitu dekat dan tulus.
Setelah beberapa jam di lapangan, waktu istirahat tiba. Para petugas duduk di pinggir jalan yang berlumpur, membuka perbekalan seadanya. Roti kaleng menjadi pilihan paling aman dan paling cepat untuk mengisi tenaga.
Tanpa menunggu disiapkan makanan khusus, tanpa meminta protokoler untuk mencarikan hidangan lain, Bupati mengambil satu kaleng roti sederhana, duduk bersama para petugas, dan membuka kaleng tersebut dengan tangannya sendiri.
Tidak ada kamera yang diarahkan, tidak ada pencitraan. Yang ada hanya sebuah ketulusan dan kebersamaan.
Dengan nada lembut, beliau berkata: “Ima do adong, roti on ma hita mangan. Na penting hita satu rohanta, satu tujuan demi masyarakat.”
Para petugas yang mendengar kata-kata itu terdiam sesaat. Bukan karena roti kaleng itu istimewa, tetapi karena pemimpin mereka memilih untuk tidak membedakan dirinya dari orang-orang yang sedang bekerja keras.
Bupati Oloan memahami bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang membuat kebijakan atau mengeluarkan instruksi. Kepemimpinan adalah tentang hadir dalam kondisi paling sulit, tentang membagi rasa, tentang membuat orang lain merasa dihargai.
Beliau kembali menambahkan: “Dison ma dongan ta. Di lapangan on hita mandok tu dirinta sandiri: hita do parhobas ni hatoban on.”
Ungkapan itu seperti angin penguat bagi para petugas. Mereka merasa bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia, karena ada pemimpin yang benar-benar melihat dan mengakui jerih payah mereka.
- alat berat tetap beroperasi,
- logistik makanan dan air minum cukup,
- pengamanan di titik rawan longsor diperketat,
- prioritas perbaikan akses menuju permukiman warga dijalankan duluan.
Tidak hanya itu, beliau juga meminta agar kesehatan petugas menjadi perhatian, terutama mengingat cuaca yang tidak bersahabat.
Sebelum meninggalkan lokasi, Bupati mengajak seluruh petugas untuk sejenak menundukkan kepala.
Dengan suara yang tenang namun penuh harapan, beliau berdoa:“Sai pasupasu Tuhan ma hita sude… Sai jadi leleng rohanta. Humbang Hasundutan ndang olo kalah, selama hita tetap satu hati. ”Beberapa petugas menahan haru.
Dalam suasana penuh lumpur dan dingin hujan, roti kaleng itu berubah menjadi simbol solidaritas, kerendahan hati, dan kasih terhadap sesama. Peristiwa itu mungkin tidak tertulis di dokumen pemerintah, tetapi akan tinggal lama di dalam hati para petugas yang menyaksikannya. Di tengah hiruk-pikuk bencana, justru tindakan paling sederhana itulah yang menyentuh paling dalam.
Seorang pemimpin yang rela duduk di tanah berlumpur, makan roti kaleng bersama petugas, dan menguatkan mereka dengan kata-kata penuh kasih—itulah yang membuat masyarakat percaya bahwa Humbang Hasundutan berada di tangan yang tepat.
Dan dari momen kecil itu, tumbuh keyakinan bahwa daerah ini tidak hanya bisa pulih, tetapi bisa bangkit lebih kuat, selama tetap satu hati dan satu langkah. (PS/BN)
