Terkait SK Sekdakab, Bupati Dan Wakil Bupati Labuhanbatu Bisa Diberhentikan

/ Senin, 02 Januari 2023 / 02.18.00 WIB

POSKOTASUMATERA.COM - LABUHANBATU - Soal Muhammad Yusuf Siagian tidak memiliki surat keputusan (SK) atas jabatan Sekretaris Daerah Kabupaten (Sekdakab) Labuhanbatu Provinsi Sumatera Utara, mengakibatkan dugaan kuat Mal Administrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu. Bahkan, sampai menjadi temuan kerugian negara.

Kerugian Negara, kalau diperhitungkan sejak beralihnya jabatan Sekdakab Labuhanbatu dari Ahmad Muflih ke Muhammad Yusuf Siagian pada tahun 2020, diperkirakan anggaran negara yang telah di belanjakan, menurut informasi di Inspektorat Labuhanbatu tahun anggaran (T.A) 2020, 2021, dan 2022 mencapai trilyunan rupiah.

Pengeluaran anggaran belanja daerah Kabupaten Labuhanbatu tersebutpun, banyak menjadi temuan laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK RI T.A 2020 dan 2021. Dalam isi LHP BPK RI, banyak menyebutkan pelanggaran ketentuan peraturan dan undang - undang. Sehingga, temuan tersebut menimbulkan kerugian keuangan negara/daerah.

Adanya hal tersebut, Bupati Labuhanbatu Erik Adtrada Ritonga dan Wakil Bupati Labuhanbatu Ellya Rosa Siregar bisa ikut terseret melanggar sejumlah peraturan dan undang - undang dalam jabatannya. Salah satunya, Undang - Undang (UU) Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. 

Seorang Praktisi Hukum Sumatera Utara, Ajie Lingga SH menjabarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada paragraf ke-3 pasal 67 huruf (b), paragraf ke-4 pasal 76 ayat (1) huruf (a) dan (g). 

"Mempertahankan jabatan seseorang dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah tanpa keabsahan, sama saja ikut melanggar ketentuan peraturan dan undang - undang. Seperti jabatan Sekdakab yang telah memiliki ketetapan hukum oleh Mahkamah Agung RI atas putusan hukum tata usaha negara, maka Bupati dan Wakil Bupati dapat dikenakan sanksi sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 tersebut,"ucapnya, Kamis (5/1/2023). 

Pada UU Nomor 23 tahun 2014, ketentuan pasal akan di ikuti sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Seperti pasal 67 huruf b. Menyatakan Kepala Daerah harus mentaati seluruh ketentuan peraturan dan perundang - undangan. Sanksi dikenakan adalah pemberhentian sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Disebutkan paragraf ke-5 UU tersebut pada pasal 78 ayat (2) huruf c melanggar sumpah/janji jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dipasal yang sama, ayat (2) huruf d, tidak melaksanakan kewajiban sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 huruf b.

"Ketentuan pemberhentian ada mekanismenya. Ini terletak di pasal 79 dan pasal 80, yakni DPRD melakukan sidang paripurna. Jika tidak dilaksanakan oleh DPRD, maka pasal 81 ayat (1) Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI dapat memberhentikan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada ketentuan huruf a, melanggar sumpah/janji jabatan, dan huruf b, tidak melaksanakan kewajiban sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 huruf b"terang Ajie.

Selain itu, Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 17, Pasal 42, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 56, Pasal 58, Pasal 59, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2021 Tentang Manajemen Administratif dan Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN), Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 Tentang Disiplin ASN, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 54 Tahun 2009 Tentang Naskah Dinas Dilingkungan Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pada Bab II Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 4 ayat (4), Pasal 6 (d), dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah pada huruf B. Sekda sebagai Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah ditunjukan pada Point 1, 2, 3, dan 4,"lanjut Ajie.

"Dari pelanggaran Administrasi tersebut, maka secara de jure semua produk hukum dan peraturan yang di keluarkan Pemkab Labuhanbatu diduga kuat tidak sah karena di undangkan oleh pejabat Sekdakab yang tidak memiliki SK jabatan sesuai dengan ketetapan hukum yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI. Dan secara otomatis, menyebabkan kerugian negara diakibatkan oleh keluarnya anggaran tanpa dokumen yang melanggar peraturan dan undang - undang yang berlaku sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia,"jelasnya.

Sebelumnya diberitakan, Hasil keterangan dari Kepala Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kabupaten Labuhanbatu Drs. Zainuddin Siregar tentang diktum ketiga (3) amar putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 75/TUN/2019 yang membenarkan tidak diterbitkannya Surat Keputusan (SK) baru dan melantik Muhammad Yusuf Siagian menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten (Sekdakab) Labuhanbatu, Bagaimana jabatan Sekda ketika Ahmad Muflih menjabat ?

Sesuai dengan putusan Mahkamah Agung RI tersebut, diktum pertama menyatakan membatalkan atau tidak sah surat keputusan Bupati Labuhanbatu Nomor : 824/3169/BKPP-1/2017 tentang penempatan pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu atas nama Ir. Muhammad Yusuf Siagian M.MA NIP 196504171991031004 tertanggal 25 Agustus 2017.

Pada diktum kedua, putusan Mahkamah Agung RI menyebutkan, mewajibkan tergugat yakni Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu mencabut putusan Bupati Labuhanbatu yang menjadi objek sengketa. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) objek sengketa putusan Bupati Labuhanbatu Nomor : 824/3169/BKPP-1/2017, diterbitkan berdasarkan tindak lanjut keputusan tergugat yakni Pemkab Labuhanbatu Nomor : 821.2/3/BKPP-1/2017 menjadi bukti (T-1) penggugat (Yusuf Siagian) dibebaskan dari jabatan tinggi Pratama yakni Sekdakab.

Dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI, apakah putusan Bupati Labuhanbatu tentang pengangkatan Ahmad Muflih menjadi Sekdakab sah secara penetapan hukum Putusan Mahkamah Agung RI tentang pembatalan keputusan Bupati Labuhanbatu yang menjadi objek sengketa dan alat bukti ?.

Mengulas kembali rekam jejak digital pemberitaan tentang sengketa putusan Bupati Labuhanbatu di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Muhammad Yusuf Siagian dengan kuasa hukumnya, Akhyar Idris Sagala menyatakan, mantan Bupati Labuhanbatu H. Andi Suahimi Dalimunthe mempertahankan Ahmad Muflih menjadi Sekda Ilegal. 

Pernyataan Akhar Idris Sagala ini menyikapi hasil mediasi eksekusi yang digelar Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Selasa (28/2019) yang lalu. Mediasi Eksekusi tersebut dihadiri pihak Pemkab Labuhanbatu mantan Asisten I Nasrullah serta mantan Kepala Bagian Hukum Setdakab Labuhanbatu Siti Hafsah Silalahi yang didampingi langsung oleh Ketua Pengadilan TUN Medan H. Bambang Edy Sutanto.

"Dalam Mediasi Eksekusi ini, sudah jelas bahwa Ahmad Muflih yang menjadi Sekda Labuhanbatu saat ini Ilegal, semua tindakannya sebagai Sekda melanggar hukum", kata Akhyar Idris Sagala.

Menurut Akhyar menjabarkan hasil Risalah Mediasi di PTUN, usai Putusan TUN terhadap gugatan TUN Sekda Labuhanbatu Ir M Yusuf Siagian berkekuatan hukum tetap, maka Ahmad Muflih tidak boleh melakukan tindakan apapun sebagai Sekda Labuhanbatu, karena Sekda Labuhanbatu yang sah berdasarkan Aturan dan UU adalah Ir Muhammad Yusuf Siagian.

"Perlu dicatat yang menegaskan Ahmad Muflih Ilegal, bukan Saya. Tapi Ketua Pengadilan TUN", tegas Akhyar.

Artinya, lanjut Akhyar, Mantan Bupati Labuhanbatu Andi Suhaimi secara otomatis melakukan perbuatan melawan hukum dengan membiarkan adanya Sekda Ilegal ditubuh Pemerintahannya dan semua kegiatan yang selama ini berjalan Ilegal.

Bahkan kata Akhyar, pihak perwakilan Pemkab Labuhanbatu yang diutus Plt Bupati Labuhanbatu gagal dalam menafsirkan hasil Putusan TUN yang dimenangkan Ir M Yusuf Siagian, dimana pihak Pemkab bersikukuh, bahwa dalam Putusan TUN tidak terdapat bahasa mengembalikan Ir M Yusuf Siagian kepada Jabatan semula, yakni Sekda Labuhanbatu. (http://www.poskotasumatera.com/2019/08/plt-bupati-labuhanbatu-dinilai-langgar.html?m=1)

Sebelumnya diberitakan, Hal dugaan kuat tidak adanya SK jabatan Sekda, ditemukan dari ketidakpatuhan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu melaksanakan amar putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 75/TUN/2019 terkait sengketa tata usaha negara (TUN) atas putusan Bupati Labuhanbatu tanggal 25 Agustus 2017 yang lalu tentang penerbitan SK baru dan pelantikan terhadap Muhammad Yusuf Siagian. 

Tak dijalankan amar putusan Mahkamah Agung RI tersebut, diakui oleh Kepala Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Labuhanbatu Drs.Zainuddin Siregar ketika ditemui diruang kerjanya belum lama ini.

Zainuddin pun mengatakan, bahwa putusan Mahkamah Agung RI membatalkan putusan Bupati Labuhanbatu Nomor : 824/3169/BKPP-1/2017 tentang penempatan pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu atas nama Ir. Muhammad Yusuf Siagian M.MA NIP 196504171991031004 tertanggal 25 Agustus 2017. SK jabatan Muhamma Yusuf Siagian menjadi Sekdakab yang lama berlaku. 

Pada hakikatnya, Zainuddin akui, tidak ada dikeluarkan SK baru dan pelantikan terhadap Muhammad Yusuf Siagian. Yang akhirnya, Muhammad Yusuf Siagian tidak memiliki SK jabatan SekdaKab Labuhanbatu saat menjabat pada tahun 2020 menggantikan Ahmad Muflih hingga saat ini.

Berbagai pendapat mengemukakan tentang pelanggaran terhadap Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu. Terkhusus Bupati Labuhanbatu yang ketika dikonfirmasi masalah tersebut, hanya memilih diam seribu bahasa. 

Hal pertama dikemukakan oleh praktisi hukum Sumatera Utara Ajie Lingga SH. Ketiadaan SK jabatan Sekretaris daerah, berbagai tugas, pokok dan fungsi, seperti pengkoordinasian perumusan kebijakan pemerintah daerah, penyelenggaraan administrasi pemerintahan, pengelola sumber daya aparatur, keuangan, sarana dan prasarana tidak sah. Ajie Lingga juga mengatakan, amar putusan Mahkamah Agung RI memiliki ketetapan hukum tertinggi yang sah.

Pendapat lain, Ketua DPP Lembaga Peduli dan Pemantau Pembangunan (LPPP)  Irfandi. Dia mengatakan, Muhammad Yusuf Siagian menjabat Sekdakab Labuhanbatu tidak memiliki SK jabatan, maka fungsi dan seluruh tugas ke absahan sebagai Sekda tidak dapat dijalankan. 

Salah satunya tertuang pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah. Fungsi dan tugas sebagai Sekretaris Daerah jelas tertuang pada huruf B, sebagai Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah. Lebih jelasnya, dalam hal penyelenggaraan keuangan daerah, Sekda mengesahkan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) yang merupakan memuat pendapatan dan belanja setiap OPD (organisasi perangkat daerah) yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan oleh pengguna/pengelola anggaran.

"Jika Pak Yusuf Siagian tidak ada legalitasnya menjabat sebagai sekda, maka seluruh DPA OPD/SKPD menjadi temuan kerugian negara/daerah. Tidak hanya itu, sistem administrasian pun menjadi Maal Administratif,"jelasnya.

Terpisah, Seorang Akademisi yang menjabat sebagai Kepala Biro AUAK IAIN Kota Pontianak, Khairunas SH, MH dalam tulisannya mengemukakan Asas - Asas Umum penyelenggaraan negara dalam pasal 3 Undang - Undang Nomor 28.Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. 

Asas - asas tersebut meliputi, asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas.

Khairunas juga mengemukakan tentang penyalahgunaan kewenangan. Hal tersebut dikemukakan karena, sangat erat kaitannya dengan terdapatnya ketidaksahan (cacat hukum) dari suatu keputusan dan atau tindakan pemerintah/penyelenggara. Cacat hukum keputusan atau tindakan pemerintah pada umumnya menyangkut pada tiga unsur utama. Yaitu, unsur kewenangan, unsur prosedur dan unsur substansi.

Dengan demikian, cacat hukum tindakan penyelenggara dapat diklasifikasikan dalam tiga macam. Yakni, cacat wewenang, cacat prosedur dan cacat substansi. Ketiga hal tersebut menjadi hakekat timbulnya penyalahgunaan kewenangan.

Dasar pengujian ada atau tidaknya penyalahgunaan kewenangan ini, adalah peraturan dasar (legalitas) sebagai hukum positif tertulis yang melatar belakangi ada atau tidaknya kewenangan saat mengeluarkan suatu keputusan. Artinya, ukuran atau kriteria ada atau tidaknya unsur "menyalahgunakan kewenangan" haruslah berpijak pada peraturan dasar mengenai tugas, kedudukan, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja. 

Terkait tindak pidana penyalahgunaan wewenang jabatan ini, dimuat dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001, “Bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00.". (PS/RICKY)
Komentar Anda

Terkini: